Yovita Arie Mangesti
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (Untag)
Setiap masyarakat memiliki kearifan lokal yang berfungsi sebagai tata nilai yang menjadi orientasi dan tata perilaku sehingga tercipta kehidupan yang harmoni. Namun dalam kodrat manusia sebagai makhluk homo homonisocius sekaligus homo economicus, maka kecenderungan manusia untuk berkompetisi dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan previeledge menimbulkan munculnya potensi sengketa ketika mengalami benturan hak dan kesempatan untuk kepentingan pribadi. Sengketa dapat menyangkut hal ringan , misalnya saling tunding, saling ejek mengejek, pembagian warisan, tindak pidana ringan, dan lain-lain atau sengketa yang berujung pada konflik adat, tindak pidana terhadap tubuh dan nyawa.
Sengketa diselesaikan dengan hukum. Hukum dapat diartikan sebagai hukum negara (proses litigasi) maupun hukum adat yang berbasis kearifan lokal (proses non-litigasi). Kearifan lokal, dimaknai sebagai suatu hasil cipta, rasa dan karya masyarakat tertentu yang diperoleh dari pengalaman hidup yang panjang dan setiap masyarakat memiliki pengalaman hidup yang berbeda-beda yang nilai-nilainya melekat sangat kuat pada masyarakat tersebut sehingga menjadi suatu adat kebiasaan yang dijaga dan dilestarikan. Kearifan lokal pada dasarnya dapat berwujud suatu kebiasaan atau etika yang dapat menuntun tingkah laku masyarakat di dalam kehidupan, yang sangat terkait dengan kondisi wilayah dan komunitas tertentu yang diwariskan secara turun temurun.
Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Sejalan dengan pendapat tersebut, bahwa upacara adat mengandung nilai-nilai dan norma- norma kehidupan masyarakat pendukungnya. Â
Tulisan ini mengangkat tentang kearifan lokal Etnis Dayak Salako yang eksis hingga saat ini. Etnis Dayak Saloko merupakan satu dari 405 etnis Dayak di Indonesia, dengan sebaran Sambas, Bengkayang, Singkawang, Kalimantan Barat. Secara khusus Dayak Salako meliputi 5 kelurahan antara lain Narangkogn, Pajintan, Sangokulur, Bagak sahwa, dan Mayasopa.
Mata pencaharian etnis Dayak Salako adalah berladang,  menorah karet, sebagian berburu. Corak religi yang khas dalam kearifan agama tradisional dan Hindu  Kaharingan, menjadi nilai religious yang mendasari perilaku etnis Dayak Salako dan memberi nuansa dalam penyelesaian sengketa di masyarakat.
Kearifan lokal etnis Dayak Salako terkait dengan penyelesaian sengketa tampak pada Upacara adat , tradisi Tepung Tawar, dan sifat Sanksi Adat. Pada setiap Upacara adat , masayarat menjunjung tinggi nilai keutamaan bahwa alam semesta ini diselenggarakan atas kekuatan illahi Jabato (sebutan untuk menggambarkan otoritas Tuhan semesta alam), dan diakuinya adanya roh lainnya yaitu hantu, setan dan iblis. Terjadinya peristiwa panen, wabah, sengketa, adalah akiban ketidakharmonisan manusia dengan kekuatan keilahian tersebut. Sehingga melalui upacara adat Ngabayotn, etnis Dayak Salako membangun harmoni dengan memanjatkan syukur kepada Jubato agar memperoleh panen yang berlimpah. Panen berlimpah membawa stabilitas kesejahteraan sehingga tidak berpotensi adanya konflik perebutan pemenuhan kebutuhan hidup. Di sisi lain, penyelenggaraan adat Ngabayotn merupakan simbolisasi dari kedamaian dan kemaslahatan.
Tradisi Tepung Tawar dilakukan dengan mengumpulkan masyarakat untuk bermusyawarah mencari penyelesaian persoalan atau sengketa baik dalam hubungan keperdataan maupun perkara tindak pidana. Sebuah temapayan diletakkan di tengah ruangan, beberapa orang mengelilinginya. Seorang tetua adat yang menjadi panyangohotn (imam) merapalkan doa, memohon pertolongan pada roh penunggu desa yang disebut panyugu alaman. Tempayan melambangkan mulut lebar dan perut besar dapat menelan segala sesuatu yang jahat. Orang-orang yang berkumpul mulai bermusyarawah, mencari jalan terbaik agar konflik bisa diselesaikan secara damai. Adakalanya Tepung tawar juga disediakan dalam mangkuk, sebagai simbol kepala dingin dan hati sejuk. Ritual adat Dayak Salako di Kalimantan Barat (Kalbar) ini menandai dimulainya pamabokng atau rapat adat membahas konflik, seperti perkelahian dan pembunuhan.
Pada Sebagian besar masyarakat Dayak, sanksi dapat berupa uang atau berupa benda lain, menyelenggarakan upacara perdamaian, memotong babi datau ayam berdasarkan tingkat kesalahan. Fungsi sanksi adat tidak hanya membuat jera, namun tetap mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai. Pengakuan terhadap kearifan lokal sebagai basis penyelesaian sengkete ini, mendapat pengakuan yuridis sebagaimana diatur dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945yang menentukan "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang" Selanjutnya pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa "Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya", berdasarkan rumusan ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa baik warga sipil maupun aparatur pemerintahan tanpa terkecuali diwajibkan untuk menjunjung hukum yang berlaku dalam kehidupan dan budaya hukum masyarakat Indonesia baik itu hukum pidana, hukum perdata, maupun hukum adat . Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) menyebutkan bahwa "Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.
Analog dengan paradigma keadilan restoratif dalam penyelesaian sengketa yang bertujuan memulihkan dan membangun harmonisasi, kearifan lokal Etnis Dayak Salako merupakan cermin penyelesaian sengketa guna mewujudkan keadilan. Peraturan Kepolisian 8/2021 menegaskan bahwa Persyaratan penyelesaian dengan keadilan restorative mensyaratkan bahwa penyelesaian perkara : a. tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat; b. tidak berdampak konflik sosial;c. tidak berpotensi memecah belah bangsa;d. tidak bersifat radikalisme dan separatisme; e. bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan Putusan Pengadilan; dan f. bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana korupsi dan tindak pidana terhadap nyawa orang. Â Selanjutnya, dalam Peraturan Kejari 15/2020 Pasal 5 ayat (6) yang berbunyi:
".....penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memenuhi syarat: telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh tersangka
dengan cara: mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban; mengganti kerugian korban; mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana.