Mohon tunggu...
Yovi Azaria
Yovi Azaria Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum

Hobi makan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema Kemanusiaan dan Kedaulatan dalam Hukum Internasional

2 Desember 2024   10:40 Diperbarui: 2 Desember 2024   11:48 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam dunia internasional, ada satu pertanyaan mendasar yang sering kali sulit dijawab: mana yang lebih penting, kedaulatan negara atau perlindungan hak asasi manusia? Isu ini menjadi semakin relevan ketika kita menyaksikan pelanggaran berat HAM, seperti genosida, kejahatan perang, atau pembersihan etnis yang terus terjadi di berbagai belahan dunia. Saat pemerintah suatu negara tidak mampu, atau bahkan menjadi pelaku utama pelanggaran tersebut, apa yang harus dilakukan oleh komunitas internasional?

Kegagalan Negara dan Tanggung Jawab Internasional

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui prinsip kedaulatan negara sebagai dasar hubungan internasional. Prinsip ini berarti setiap negara memiliki hak untuk mengatur urusannya sendiri tanpa campur tangan pihak luar. Namun, konsep ini mulai diuji ketika suatu negara gagal melindungi warganya dari pelanggaran HAM berat.

Pada titik inilah tanggung jawab internasional muncul. Komunitas global dihadapkan pada pilihan sulit: membiarkan pelanggaran HAM terus berlangsung dengan alasan menghormati kedaulatan, atau mengambil tindakan untuk melindungi korban, meskipun itu berarti melanggar prinsip dasar kedaulatan.

Salah satu contoh yang paling sering disebut adalah intervensi NATO di Kosovo pada 1999. Ketika terjadi pelanggaran berat HAM terhadap etnis Albania oleh pemerintah Serbia, NATO melancarkan serangan udara tanpa mendapatkan izin resmi dari Dewan Keamanan PBB. Intervensi ini dianggap berhasil menghentikan kekerasan, tetapi juga menuai kritik karena dianggap melanggar hukum internasional.

Teori di Balik Tindakan Kemanusiaan

Tindakan campur tangan internasional, terutama yang bersifat militer, sering kali berakar pada prinsip-prinsip moral dan filosofis yang mengutamakan perlindungan manusia di atas segalanya. John Stuart Mill, misalnya, berpendapat bahwa perlindungan terhadap individu adalah tugas moral global, terutama ketika negara gagal menjalankan perannya.

Namun, ada garis tipis yang memisahkan tindakan moral dan kepentingan politik. Dalam praktiknya, intervensi semacam ini sering kali dipengaruhi oleh agenda negara kuat, sehingga menimbulkan pertanyaan: apakah tindakan tersebut benar-benar untuk kemanusiaan, atau hanya sekadar alat politik untuk menguasai wilayah atau sumber daya?

Kritik dan Kontroversi

Tindakan intervensi internasional membawa sejumlah tantangan dan kontroversi, seperti:

1.Pelanggaran Prinsip Kedaulatan

Kedaulatan negara adalah pilar utama dalam sistem internasional modern. Ketika komunitas internasional memutuskan untuk campur tangan, ini sering dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak dasar suatu negara untuk mengatur urusannya sendiri.

2.Motif Tersembunyi

Banyak pihak yang skeptis terhadap alasan intervensi. Beberapa kasus menunjukkan bahwa intervensi sering kali dilakukan di negara-negara dengan nilai strategis tinggi, seperti sumber daya alam melimpah atau posisi geopolitik yang strategis. Sebaliknya, pelanggaran HAM di negara-negara tanpa nilai strategis sering kali diabaikan.

3.Efek Jangka Panjang

Intervensi sering kali meninggalkan masalah baru di negara target. Setelah operasi militer selesai, negara yang diintervensi sering kali mengalami instabilitas politik, konflik berkepanjangan, atau bahkan menjadi medan perang kekuatan asing. Contohnya adalah situasi di Libya pasca-intervensi NATO pada 2011, yang hingga kini masih dilanda konflik internal.

Antara Kemanusiaan dan Kedaulatan: Apa Solusinya?

Meski penuh tantangan, komunitas internasional terus mencari cara untuk menyeimbangkan kebutuhan melindungi HAM dengan prinsip kedaulatan. Salah satu upaya yang muncul adalah konsep Responsibility to Protect (R2P), yang diperkenalkan pada tahun 2005. R2P menegaskan bahwa kedaulatan negara tidak hanya hak, tetapi juga tanggung jawab. Jika suatu negara gagal melindungi rakyatnya, maka tanggung jawab itu beralih kepada komunitas internasional.

Namun, implementasi R2P juga tidak lepas dari kritik. Tanpa mekanisme yang jelas, konsep ini tetap rentan terhadap penyalahgunaan oleh negara-negara kuat.

Kesimpulan: Perlukah Dunia Berubah?

Dilema antara kedaulatan negara dan perlindungan HAM menunjukkan betapa kompleksnya dunia internasional saat ini. Di satu sisi, perlindungan terhadap individu adalah nilai universal yang tidak bisa diabaikan. Namun, di sisi lain, penghormatan terhadap kedaulatan negara adalah fondasi sistem global yang harus dijaga.

Pada akhirnya, keputusan untuk campur tangan harus didasarkan pada niat yang jelas, proses yang transparan, dan upaya maksimal untuk meminimalkan dampak negatif jangka panjang. Dunia internasional perlu terus memperbaiki mekanisme dan kerangka hukum agar setiap langkah intervensi benar-benar didasarkan pada kepentingan kemanusiaan, bukan sekadar alat untuk mencapai tujuan politik sempit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun