Giessen an der Lahn - Tulisan ini bermula dari diskusi online dengan Bapak Ir. Achmad Rafieq, M.Si, seorang anthropolog dari BPTP Kalimantan Selatan, tentang perubahan mata pencaharian orang Dayak Meratus (Dayak Bukit) di Kalimantan Selatan, yang ditulisnya di sini.
Beliau mengemukakan fakta bahwa kehidupan masyarakat Meratus yang semakin konsumtif mendorong terjadinya perubahan dalam sistem perladangan yang mereka laksanakan. Penanaman tanaman perkebunan di lahan perladangan akan mengurangi lahan untuk perladangan sehingga akan mempersingkat waktu bera dan menurunnya produktivitas lahan.
Hasil penelitian beliau ini memperkuat dugaan atas temuan mahasiswa kami, Aan Yuliono, yang meneliti sistem perladangan gilir balik di Desa Haratai-Loksado di kawasan Meratus, Kalimantan Selatan di tahun 2011. Hasil temuannya bisa dilihat di sini.Â
Secara umum, sistem perladangan orang Meratus harus selaras dengan alam dan kaya dengan ritual. Mereka menyebutnya dengan sistem gilir balik. Artinya mereka akan membuka lahan pertama dalam satu tahun untuk kemudian berpindah ke lahan lainnya dan seterusnya sehingga mereka akan kembali ke lahan pertama tadi setelah 7-8 tahun. Pem-bera-an selama itu bertujuan untuk mengembalikan kesuburan tanah.
Mereka menanam berbagai macam varietas padi lokal (padi gunung) dan palawija dan bunga. Aktivitas menanam padi merupakan aktivitas 'wajib' dan sakral. Benih diperoleh dari panen sebelumnya dan hasilnya hanya untuk konsumsi sendiri dan sukunya. Menjual hasil panen padi dianggap tabu. Selain itu mereka juga menanam tanaman perkebunan seperti karet hutan, kemiri dan kayu manis. Dari hasil perkebunan inilah mereka memperoleh uang tunai.
Dan sepertinya, orang Meratus cenderung lebih tertarik ke perkebunan yang lebih menghasilkan uang tunai. Mereka mulai mengkonversi sebagian ladangnya menjadi perkebunan. Akibatnya lahan untuk ladang menjadi sedikit dan pem-bera-annya pun lebih pendek menjadi berkisar 4-5 tahun. Untuk memperoleh jumlah panen yang lebih tinggi dengan durasi bera yang lebih pendek, akhirnya mereka pun 'tergoda' untuk menggunakan pupuk kimia dan pestisida.Â
Jadi, meski beralih ke perkebunan, mereka beranggapan bahwa stok lumbung mereka masih mencukupi itu kebutuhan sehari-hari keluarganya dan komunitasnya. Sayang sekali kami tidak bisa mengkonfirmasi karena kami tidak menghitung konsumsi beras mereka. Dugaan awal ini ternyata diperkuat oleh tulisan Pak Rafieq di atas.
Jenis kebutuhan mereka juga mulai beragam. Kalau dulu cukup sandang, pangan dan papan yang semuanya dapat dipenuhi dari alam (non-cash), sekarang mulai ada kebutuhan sekunder dan tersier yang pemenuhannya harus dengan uang cash. Akibatnya mereka mulai 'mengeksploitasi' lahannya.
Jika konversi ladang menjadi perkebunan tidak terkontrol, maka seperti yang dikemukan Pak Rafieq, ketiadaan lahan untuk perladangan tidak hanya mengancam ketersediaan pangan tetapi juga kebudayaan orang Meratus dan eksistensi orang Meratus itu sendiri.
(Giessen an der Lahn, 16.05.2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H