Pandemi yang melanda Indonesia sejak Maret 2020 meruntuhkan berbagai macam roda ekonomi, baik makro maupun mikro. Tak terkecuali usaha milik Pak Alex, usaha es cendol yang telah dilakoni sejak 1996. Pandemi meluluhlantahkan usahanya, bahkan hingga hampir gulung tikar.
Pak Alex merasa tertatih-tatih untuk mempertahankan usahanya pada masa pandemi. Pada masa awal-awal pandemi -- Maret 2020 -- tak ada satu orang pun yang membelinya. Kota Jogja seperti kota mati.
"Sepi banget saat awal-awal itu. Gak ada satu pun yang beli, pemasukan juga gak ada. Buat makan saja susah," ujar Pak Alex.
Pak Alex yang berjualan es cendol sejak 1996, dimulai dari bujang hingga kini memiliki momongan, mengatakan kalau pandemi ini merupakan cobaan yang tidak pernah ia duga sebelumnya. "Biasanya kalau sepi, ya ... paling di bawah sepuluh, Mas. Itu pun paling sehari atau dua hari. Lha kalau sekarang, berbulan-bulan itu ga ada yang beli, Mas. Bener-bener susah waktu itu," ungkapnya.
Berjualan es cendol di perempatan sisi selatan Yogyakarta menjadi satu-satunya mata pencaharian Pak Alex untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Dulu, sebelum masa pandemi, Pak Alex mengatakan bisa menjual 30 hingga 50 mangkok, tetapi saat ini laku di atas 10 mangkok saja sudah bersyukur.
Pak Alex juga menuturkan alasan ia memilih berjualan es cendol sejak 1996 hingga sekarang. "Jualan es cendol itu gak susah, Mas. Apalagi saya yang sudah bertahun-tahun begini. Es cendol itu pas banget untuk dimakan siang pas panas-panas gitu, Jogja kan terhitungnya juga kota yang panas, jadi pas banget," ucapnya.
Jam-jam waktu pembeli ramai membeli es cendol pun sudah ia hafal. "Anak-anak sekolah sama kantoran yang paling sering beli. Waktu jam istirahat 12-an gitu rame-rame dateng beli," ungkapnya. Pak Alex berjualan hingga menjelang gelap, karena menurutnya, jam-jam segitu sudah sedikit sekali yang beli.
Pak Alex juga mengatakan ia sangat bangga dengan berjualan es cendol. Sebab, dengan ia berjualan es cendol, sama saja Pak Alex bisa mengingatkan sekaligus melestarikan makanan tradisional khas Jawa Barat pada banyak orang, khususnya anak-anak muda. "Cendol ini kan makanan asli Jawa Barat, kalau di Jogja namanya dawet ayu. Karena saya orang Tasikmalaya, jadi saya namakan es cendol," lengkapnya.
Pak Alex bercerita bahwa ia masih mempertahankan orisinalitas dagangannya dari segala aspek. Mulai dari wadah, cara membuat, dan terutama rasa. "Sejak 1996 saya jualan, gaada yang berubah, ya begini-begini saja,"
Ia juga menambahkan tak tertarik untuk mendaftarkan warungnya pada aplikasi ojek online. Bahkan, ia juga tak tertarik untuk mengembangkan usaha, seperti membuka cabang.
"Saya masih bisa bertahan kok dengan seperti ini. Semua yang saya bangun sejak awal masih bisa menghidupi saya dan keluarga. Saya masih ingin mempetahankan semua yang saya bangun dari awal tanpa perubahan," imbuhnya.
Ia juga menutukan cara beradaptasinya di masa pandemi. Ia mengatakan, penerapan protokol kesehatan di warungnya untuk menjaga kesehatannya dan juga kesehatan pelangannya sangatlah penting. Ia tidak pernah melepaskan maskernya selama ia berjualan. Ia juga menyediakan wastafel yang disertai sabun untuk pelanggan mencuci tangannya.
Selain wastafel, ia juga menempelkan tulisan yang berisi imbauan untuk selalu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Ia juga menambahkan, bahwa ia selalu mencuci tangan setelah menerima uang dari pelanggan.
"Saya juga ngeri lihat berita tentang covid di tv. Saya juga takut kalau saya positif terus menulari keluarga saya. Maka dari itu, saya menerapkan protokol sesuai dengan anjuran pemerintah," ujarnya.
Pak Alex mengatakan kalau covid ini memang benar-benar nyata. Ia juga mengatakan tak habis pikir dengan orang-orang yang masih menganggap covid ini sepele dengan melanggar protokol kesehatan. Maka, ia sering kali mengingatkan pelanggannya yang melanggar protokol kesehatan, seperti tak cuci tangan dulu, masuk tak pakai masker, dan juga duduk berjejeran.
"Saya itu dah kasih tanda-tanda silang merah di kursi yang ga boleh diduduki, tapi masih aja banyak orang yang duduknya pada berjejer. Ya, saya ingatkan pelan-pelan tentang protokol kesehatan, terutama jaga jarak," ujar Pak Alex.
Pak Alex menuturkan, bahwa ia tak tahu lagi harus menaruh harap mengenai covid ini pada siapa lagi. Ia sudah berusaha dan beradaptasi sebisa mungkin yang ia lakukan. Akan tetapi, ia mengatakan tak boleh menyerah dan harus tetap berjuang.
"Saya sudah melakukan semampu saya, masih dikasih rezeki sama Yang Di Atas saya sudah sangat bersyukur. Dalam keadaan apa pun kita memang harus bersyukur, mau dikasih sedikit ataupun banyak," ujarnya.
Pak Alex tentu saja berharap agar pandemi ini dapat segera selesai dan dapat kembali seperti sebelum adanya pandemi. Ia juga mengatakan, tidak pernah sekalipun mengharapkan bantuan dari pemerintah yang sering salah sasaran dan tidak dapat diharapkan. Meskipun tak berharap, jika ada dan mendapatkan bantuan dari pemerintah untuknya, ia akan sangat berterima kasih.
Ia mengatakan, jika ia masih mampu berusaha dengan kaki dan tangannya sendiri, meski dalam kondisi tersulit sekalipun, ia tak akan pernah menyerah. "Kalau saya masih diberi kesempatan untuk berjuang, ya saya akan terus berjuang. Saya ngga kenal kata menyerah," ucapnya dengan penuh semangat.
Pak Alex juga memberi pesan untuk anak-anak muda janganlah mudah menyerah. Semua usaha yang dilakukan dapat menghasilkan jika dilakukan dengan konsisten. Jangan ragu untuk mencoba hal baru, sebab kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi.
Tak lupa ia juga memberikan pesan pada mahasiswa. "Apalagi yang diberikan kesempatan untuk kuliah, jangan kecewakan orang tua yang telah membiayai mahal-mahal untuk kuliah, harus dimanfaatkan secara sebenar-benarnya," tutupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H