Mohon tunggu...
Arya Dwi Pangga
Arya Dwi Pangga Mohon Tunggu... Lainnya - Menualah dengan cerita

Jika ditanya apakah saya orang sukses? ma.af untuk sa.at ini belum, tapi kita lihat nanti!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pendar Tak Terkendali

21 November 2020   20:41 Diperbarui: 21 November 2020   20:42 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara "Is" Istiqamah vokalis payung teduh mengalun pelan melantunkan lagu akad, tiba-tiba saja rasah itu muncul lagi, membuatku memutar mesin waktu dalam kepala, kembali pada moment saat kita masih belum mengenal katah berpisah, saat kita tak ada rencana saling melupakan, masih saja tak percaya ada kejadian seperti ini, kita yang bukan apa-apa secara perlahan pada akhirnya kembali lagi tak menjadi apa-apa, entah kenapa juga masih saja aku ingat cara kita berkenalan, cara kita mulai dekat, cara kita mulai terikat, tanpa sengaja aku mulai menjadi terlalu nyaman, menjemput harapan tanpa adanya keraguan, ibarat api, sayang ini sudah menjadi terlalu berkobar dari yang sebelumnya hanya sebesar nyala lentera. 

Semakin lama lagu itu berputar, semakin itu pula tanganku bergetar mengingatmu meskipun itu bukan lagu yang kamu bilang menggambarkan tentang hubungan kita, aku tak membencimu, aku lebih banyak menyesali karena telah gagal membuatmu yakin, membiarkanmu seolah-olah berjuang sendirian untuk bertahan.

Aku telat memahami, aku terlambat melihat situasi sampai kamu harus mengambil keputusan setelah mencoba menerima keadaan untuk tetap sejalan, sekarang aku seperti hidup diantara partikel-partikel kecil tentang dirimu, tak terlihat namun tetap terasa lembut menyentuh, membuat sesak di dada, tapi sekaligus membuatku benar-benar bangun dan tersadar bahwa ternyata aku masih belum menjadi manusia yang baik, untuk diriku sendiri, untuk keluarga ataupun untukmu. Kejadian ini membuatku benar benar bersujud, setelah benar benar tersungkur.

Kedewasaanku diuji, seperti berjalan ditepian yang setiap sisinya hanya lembah tak berdasar, seperti ingin kembali lagi karena jalan ini terlalu menakutkan. 

Maaf aku bercerita lagi melalui tulisan, hanya karena tak cukup nyali untukku menyampaikan langsung padamu. Apapun yang terjadi, semua atas kehendaknya, bahkan selembar daun yang jatuh kebumi pun sudah tertulis dalam kitab Lauh Mahfuzh bahkan sebelum kita berdua diciptakan, kamu memang bagian rencana terbesarku didunia, namun ternyata kamu bukan bagian rencana tuhan untukku dan aku bukan bagian rencana tuhan untukmu. Selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun