Beberapa waktu yang lalu gubernur Sulawesi Tengah mempertanyakan pernyataan dari Ali Mochtar Ngabalin (Staf Kepresidenan/Tenaga Ahli utama Kedeputian IV) yang menyatakan bahwa gubernur Sulteng yang merupakan kader partai Gerindra itu cenderung pasif dalam penanganan bencana pasca gempa di Palu dan Donggala.
Secara tegas gubernur Sulteng 2 periode itu pun membantah bahwa dia selama ini pasif, dia malah menyatakan bahwa Ngabalin jangan ngibul saja, dan juga balik bertanya apa yang menjadi indikator bahwa dia pasif dalam penanganan bencana.
Sebenarnya pernyataan dari Ngabalin sebelumnya karena beredarnya di media sosial video yang menyatakan bahwa banyak masyarakat Sulteng khususnya di wilayah kota Palu dan sekitarnya berharap gubernurnya itu bisa hadir bersama-sama di tengah-tengah masyarakat yang menjadi korban gempa dan tsunami agar dapat merasakan bagaimana kesusahan yang dialami oleh para korban.
Mungkin Pak Ngabalin tidak akan menjawab lagi apa yang menjadi indikator kepasifan gubernur Sulteng dalam penanganan korban gempa dan tsunami.Â
Namun saya justru dalam tulisan ini ingin menuliskan sedikit hal yang menunjukkan bahwa kepasifan gubernur dan pemerintah daerah di Sulteng sebenarnya mungkin bukan hanya setelah bencana terjadi, akan tetapi sejak sebelum bencana gempa, tsunami dan likuifaksi melanda kota Palu, Donggala dan Sigi. Apa buktinya ?
Peringatan Gempa Diabaikan
Peringatan akan potensi gempa dan tsunami di wilayah Sulawesi Tengah sebenarnya sudah sejak 2 tahun lalu digaungkan. Pergerakkan sesar (patahan) Palu-Koro yang menjadi trigger gempa dan tsunami di kota Palu dan Donggala sejak tahun 2016 sampai Agustus 2018 telah diteliti oleh parah ahli kebencanaan yang tergabung dalam tim ekspedisi Palu-Koro.
Ketua tim ekspedisi Palu-Koro Trinirmalaningrum bahkan dalam sebuah wawancara di Tv mengatakan bahwa gempa besar yang berkekuatan di atas 7 skala richter yang bersumber dari sesar palukoro sudah terbaca sejak jauh hari ketika tim ekpedisi ini menyelesaikan penelitian mereka di tahap 1 pada bulan maret 2017.Â
Sesar Palukoro menurut hasil temuan mereka akan menyebabkan gempa yang berpotensi tsunami dalam waktu dekat berdasarkan siklus yang sudah diteliti sebelumnya oleh para ahli geologi dan gempa.
Hasil penelitian tahap 1 dari tim ekspedisi palukoro ini pun sudah disampaikan kepada pemerintah daerah dan semua otoritas yang masuk dalam penanganan masalah kebencanaan. Namun menurutnya hasil temuan ini ketika disampaikan mendapat respon yang kurang optimal (minim) dari pemerintah daerah termasuk dari gubernur dan walikota saat itu.Â
Sehingga atas inisiatif dari tim ekspedisi Palu koro sendiri, maka mereka memulai lebih banyak melakukan sosialisasi dan edukasi di wilayah-wilayah yang rawan terkena bencana di wilayah Palu, Sigi dan Donggala.Â
Namun dengan segala keterbatasan usaha yang mereka lakukan memang belum mampu membangkitkan kesadaran di masyarakat terutama pada pemerintah daerah sendiri.
Pada bulan Agustus 2018 satu bulan sebelum gempa terjadi, tahap ke 2 penelitian dari tim ekspedisi palukoro selesai dilakukan. Mereka kembali dengan berusaha untuk mengedukasi masyarakat dengan cara mendokumentasikan hasil temuan mereka dalam bentuk film dan buku dan akan memulai sosialisasi yang lebih lagi kepada pemerintah daerah Sulawesi Tengah.Â
Namun sayang tidak disangka sesar Palu-Koro ternyata lebih cepat dan aktif dari pemerintah daerah Sulteng, sehingga gempa dengan kekuatan di atas 7 (7,4 SK) benar terjadi dan selanjutnya tsunami datang membilas pesisir kota Palu dan Donggala. Bahkan sebuah fenomena likuifaksi sampai menelan rumah/ pemukiman warga di daerah/ wilayah Palu dan Sigi.
Mitigasi Kurang Korban Banyak
Andai saja pemerintah daerah terutama gubernurnya lebih cepat dan aktif dalam merespon hasil temuan dari tim ekspedisi Palu-koro, maka tentu upaya untuk membuat program-program mitigasi bencana khususnya gempa dan tsunami akan dapat segera dilakukan, sehingga ancaman akan korban yang lebih banyak kemungkinan besar dapat diminimalisir.
Dalam sebuah wawancara di kompas tv, salah satu relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang bergabung dalam tim ekspedisi Palu-Koro mengatakan ketika mereka bertemu dengan pimpinan daerah (gubernur/bupati/walikota) dalam rangka sosialisasi akan bahaya potensi gempa dari sesar Palu-Koro di wilayah kota Palu dan sekitarnya, respon yang kurang baik justru ditunjukkan oleh mereka dengan mengatakan bahwa dalam sosialisasi mengenai bahaya bencana gempa tidak perlu terlalu berlebihan, karena nantinya justru akan menimbulkan keresahan dan perasaan takut di masyarakat.Â
Bagi saya respon dari pimpinan daerah ini terlihat naif, karena pemimpin daerah justru bukan berpikir apa yang harus dilakukan agar masyarakat siap menghadapi bencana yang datang dan juga yakin bahwa pemerintah daerahnya sanggup untuk menangani bencana yang mungkin datang mengancam kapan saja.
Kurang responsifnya pemerintah daerah terhadap potensi ancaman gempa di kota Palu dan sekitarnya sudah dapat dinilai dari tidak adanya kesiapan pemerintah daerah sebelum dan sesudah bencana terjadi.Â
Dari hasil pengamatan tim ekspedisi palukoro menemukan bahwa khusus di kota Palu, jarang sekali bahkan boleh dikatakan tidak ditemukan daerah yang terpasang rambu-rambu yang menjadi peringatan atau menunjukkan wilayah/daerah yang rawan gempa, bahkan justru di daerah-daerah yang sangat rawan terjadi gempa dan tsunami berdiri bangunan publik (hotel dan mall).Â
Selain itu sangat jarang ditemukan rambu-rambu yang menunjukkan ke masyarakat ke mana harus mengevakuasi diri ketika bencana gempa dan tsunami terjadi. Buktinya terlihat setelah gempa terjadi, masih banyak warga yang berkumpul di sekitaran pesisir pantai bahkan sampai saat tsunami terjadi warga masih ada yang melintas di jalanan.
Sesudah bencana gempa dan tsunami terjadi, kota Palu yang adalah ibukota provinsi memang boleh dikatakan lumpuh total. Apalagi diperparah dengan matinya listrik, putusnya sambungan komunikasi dan akses jalan serta bandara udara. Kondisi inilah yang membuktikan bahwa memang selama ini tidak ada perencanaan dan persiapan pemerintah daerah dalam menghadapi kondisi pra dan pasca bencana.
Minimnya perhatian pemerintah daerah Sulteng terhadap mitigasi bencana juga terlihat dari dari anggaran yang dialokasikan oleh pemda. Hasil penelusuran menemukan bahwa sejauh ini pemprov Sulteng hanya menyediakan dana mitigasi bencana sebesar 0,1 % sampai 0,3% dari total APBD. Dana yang kecil tersebut menurut saya tidak akan efektif untuk digunakan dalam rangka membangun persiapan daerah mengahadapi bencana.Â
Jika saja gubernur dan seluruh stakeholder terkait sudah jauh-jauh hari menyadari bahwa wilayah Palu dan sekitarnya rawan bencana, maka mitigasi yang kuat harus dipersiapkan sehingga alokasi dananya pun sudah seharusnya dinaikkan.
Pasifnya pemerintah daerah terutama gubernur pada akhirnya menimbulkan korban jiwa yang banyak dan kerugian yang besar.Â
Namun sesungguhnya hal ini dapat diminimalisir andai saja sejak awal gubernur/bupati/walikota dan seluruh instansi terkait mau lebih mendengarkan peringatan akan potensi bencana gempa dan tsunami di wilayah kota Palu dan sekitarnya, serta selanjutnya mereka sadar untuk mempersiapkan mitigasi yang baik.
Pasca gempa dan tsunami di kota Palu dan sekitarnya, terjadi eksodus masyarakat dalam jumlah besar dari kota Palu. Mereka memutuskan meninggalkan kota Palu. Respon negatif justru kembali diucapkan oleh gubernur sulteng dengan menyatakan bahwa dirinya kecewa dengan warga yang meninggalkan kota Palu.Â
Bagi saya eksodus masyarakat dari kota Palu sebenarnya wajar dilakukan oleh warga yang tidak yakin dengan kondisi tempat tinggalnya yang rawan dengan bencana sehingga dapat mengancam nyawa mereka.Â
Apalagi ditambah dengan pemerintah daerahnya yang sejak awal sebelum bencana terjadi ternyata tidak mampu menyadarkan warganya akan potensi bencana yang sebenarnya sudah diketahui sejak awal oleh pemerintah daerah namun kurang responsif.Â
Selain itu pemerintah daerah terutama pemimpinnya (gubernur dan walikota) juga belum mampu meyakinkan semua warganya untuk tetap tinggal.
Saat ini yang paling utama dilakukan memang adalah membantu para korban di kota Palu, Donggala dan Sigi. Syukurlah bantuan pemerintah pusat, daerah-daerah lain serta bantuan yang datang dari luar negeri mampu mengurangi beban masyarakat di kota palu, Donggala dan Sigi.
Sulteng memang harus bangkit, namun bukan hanya masyarakatnya saja yang diminta bangkit, melainkan juga pemerintah daerahnya yang harus bangkit dari ketidaksadaran akan potensi bencana yang selama ini seperti terlupakan.
*Tulisan ini sebenarnya ingin saya tulis di kompasiana sejak 2 minggu yang lalu, namun karena kesulitan (masalah) log in pada kompasiana akhirnya baru dapat saya tuliskan pagi ini, setelah melewati perjuangan yang cukup melelahkan agar bisa log in. Hehehe....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H