[caption id="attachment_340310" align="aligncenter" width="300" caption="www.hotspotmurah.com/"][/caption]
Pasar adalah salah satu kebutuhan dasar ekonomi kemasyarakatan Indonesia, disinilah bertemu penjual dan pembeli, melangsungkan gerak putar ekonomi, salah satu pasar yang ingin penulis angkat dalam tulisan ini adalah Pasar Barter Wulandoni.
Pasar Barter Wulandoni, saya yakin para kompasianer jarang mendengar nama pasar ini, kalaupun ada pasti orang timur atau orang NTT, kalaupun ada yang lain lagi, saya yakin mereka hanya membacanya di situs Web atau situs Kompasiana sendiri, kebetulan ada seorang saudara saya yang juga seorang kompasianer pernah menulis tulisan mengenai Pasar Barter Wulandoni. Pasar Barter Wulandoni terletak di daerah saya, di sebuah desa terpencil selatan pulau Lembata, kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Pasar Barter Wulandoni adalah sebuah kearifan lokal yang sangat agung dan memiliki nilai budaya, nilai adat, nilai historis, nilai toleransi dan peradaban yang sangat tinggi, Loh kok bisa begitu..? Bukankah hanya sebuah pasar di desa terpencil? disinilah letak keunikan Pasar Barter Wulandoni.
Dari namanya saja para pembaca pasti sudah paham, "Pasar Barter Wulandoni". Pasar barter ? yah Pasar Barter Wulandoni masih menggunakan sistem ekonomi yang sudah sangat tua yaitu sistem barter atau tukar menukar barang. Bagaimana mungkin sebuah pasar barter masih eksis ditengah glamornya sistem ekonomi dengan uang sebagai alat tukarnya?
Sebelum penulis menjawab pertanyaan tersebut, penulis mengajak pembaca untuk mencari jawabannya dari beberapa sudut pandang, pertama sudut pandang Geografis. Kondisi Geografis Kabupaten Lembata pada umumnya, dan khususnya di kecamatan Wulandoni, merupakan daerah pantai dan gunung, terdapat begitu banyak gunung-gunung yang tinggi dan terjal, lautan yang dalam dengan arus yang deras dan ganas, daerah ini juga beriklim kering, musim hujan lebih panjang waktunya dibanding musim kemarau.
[caption id="attachment_340311" align="aligncenter" width="300" caption="http://jefftravels.com/"]
Penduduknya juga terbagi menjadi dua yaitu Penduduk yang bermukim di pantai dan Penduduk yang bermukim di daerah pegunungan, pada umumnya masyarakat pantai berprofesi sebagai nelayan dan masyarakat pegunungan berprofesi sebagai petani. dengan perbedaan topografi ini menyebabkan berbeda pula kebutuhan, Penduduk pegunungan membutuhkan ikan, yang mana ikan susah di dapatkan di daerah pegunungan, sedangkan Penduduk penghuni pantai membutuhkan buah-buahan dan sayuran yang sulit didapatkan di daerah pantai.
Selain dari itu, seperti yang sudah di jelaskan Penulis diatas bahwa kondisi geografis yang ekstrim menyebabkan daerah ini belum memiliki sarana transportasi yang memadai, Walaupun saat ini sudah ada perhatian dari pemerintah, tapi baru saat ini, dahulunya tidak, mungkin sejak Zaman penjajahan Belanda, baru kali ini (2015)pasar barter wulandoni merasakan nikmatnya aspal, untuk transportasi darat, bisa dikatakan sangat sulit, kendaraan harus melewati gunung dan tebing yang curam, belum lagi pada musim hujan kadang ada jembatan yang putus, tebing yang longsor, atau jalan yang putus digerus banjir, untuk tranportasi laut, kecamatan wulandoni langsung berhadapan dengan laut sawu yang begitu mengerikan, arus yang deras dan selalu berubah, ombak yang ganas, sehingga sudah berkali-kali kapal motor yang beroperasi di kecamatan ini harus lenyap karam di tengah lautan sawu.
[caption id="attachment_340312" align="aligncenter" width="300" caption="https://ataplaut.wordpress.com/"]
Coba pembaca bayangkan, bagaimana kehidupan ekonomi masyarakat Wulandoni ? saya rasa para pembaca sudah mulai mengerti mengapa pasar barter masih eksis di daerah ini.
Yang Kedua adalah Sudut pandang budaya, Kabupaten Lembata, Kecamatan Wulandoni Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah daerah yang kaya akan keanekaragaman, ragam budaya, ragam bahasa dan ragam adat istiadat. Penulis tidak mampu menuliskan berapa banyak bahasa yang digunakan di daerah ini, penulis tidak mampu menghitung jumlah dialek, adat Istiadat, corak pakaian adat, dan segala macamnya, daerah ini adalah syurga budaya, syurga adat, syurganya keberagaman yang tiada tandingannya. Dimana keanekaragaman itu bertemu? Tiada lain, sudah pasti di Pasar Tradisional Pasar Barter Wulandoni.
Di Pasar ini penduduk Wulandoni bertemu, orang gunung dan orang pantai saling sapa, menjajakan barang dagangannya, jadi disini tidak ada Istilah penjual dan pembeli, karena pembeli juga ingin menjual dan penjual juga ingin membeli, orang gunung menjajakan hasil perkebunan, ada jangung, pisang, umbi-umbian, hewan ternak dan sebagainya, sedangkan orang pantai menjajakan hasil tangkapannya, ikan basah dari berbagai jenis Ikan, orang Lamalera yang terkenal sebagai penangkap ikan paus menjajakan daging ikan pausnya, orang Labala yang terkenal sebagai kerajaan bungsu Solor Watanlema menjajakan ikannya, mulai dari berbagai jenis ikan basah (Segar) maupun ikan kering dengan berbagai jenis olahannya.
Penulis pernah pulang kampung beberapa bulan yang lalu, penulis saksikan sendiri proses jual beli yang terjadi disana, ada hal yang cukup unik, orang gunung dan orang pantai menjajakan barangnya dengan Bahasa daerah dan dialek yang berbeda-beda, tapi lucunya mereka kok bisa saling mengerti?
[caption id="attachment_340313" align="aligncenter" width="300" caption="Menjunjung Tinggi Nilai Toleransi (yuiword.com)"]
Nah disinilah terjadi pembauran budaya antara orang gunung dan orang pantai, jangan heran orang yang berasal dari daerah ini kadang menguasai beberapa bahasa daerah sekaligus, tidak mengherankan karena bahasa adalah alat komunikasi yang sangat penting, tidak semua orang kampung mengerti Bahasa Indonesia, Apalagi ketika anda harus saling barter barang dengan nenek-nenek yang sudah udzur usianya.(Awas Jangan Salah Baca)
Bagaimana dengan toleransi khususnya toleransi Agama? mengapa penulis bisa mengatakan Pasar Barter Wulandoni bisa memberikan nilai toleransi yang tinggi?, Sekedar informasi, mayoritas penduduk wulandoni yang tinggal di daerah pegunungan adalah penganut kristen katolik yang taat, sedangkan penduduk wulandoni yang tinggal di daerah pantai mayoritas penganut agama Islam yang taat, coba pembaca bayangkan, Labala Leworaja adalah Salah satu desa di kecamatan wulandoni dahulunya adalah Kerajaan Islam pantai, dan merupakan pintu masuknya agama Islam di Kabupaten Lembata atau biasa di sebut serambi Makkah Lembata, sedangkan Lamalera, salah satu desa di kecamatan wulandoni yang jaraknya tidak sampai 10 Kilometer dari Labala adalah Serambi Roma lembata, Dimana disinilah pintu masuk untuk yang pertama kali agama kristen katolik ke Kabupaten Lembata, Sehingga bisa dikatakan Kecamatan Wulandoni adalah pintu masuk dua agama besar di dunia di Kabupaten lembata, Serambi Roma Makkah Lembata.
[caption id="attachment_340314" align="aligncenter" width="300" caption="Proses Transaksi Jual Beli (www.vnewsmedia.com)"]
Di Pasar barter wulandoni kedua pemeluk agama besar ini bertemu, bukan untuk berperang atau saling bunuh, akan tetapi untuk melangsungkan kegiatan ekonomi, saling bertegur sapa selayaknya tidak ada perbedaan, bercanda, tertawa, saling memenuhi kebutuhan, tidak ada konflik, yang ada kita semua bersaudara, perbedaan agama memang masalah keimanan, bukan berarti kita harus saling bermusuhan, ada sebuah pepatah mengatakan perbedaan itu seperti air dan minyak, tidak pernah bersatu, akan tetapi bisa hidup berdampingan.
Bagaimana dengan nilai historis, pada awal tulisan ini penulis mengatakan pasar barter wulandoni memiliki nilai Historis yang tinggi, akan tetapi sejaranya masih simpangsiur, maklum pada masa dahulu masyarakat wulandoni tidak memiliki budaya tulis menulis, sejarah hanya disimpan melalu metode Tutu Koda atau Sejarah Lisan yang diceritakan oleh penutur turun temurun. Untuk menyikapi hal ini penulis mengadakan penelitian kecil-kecilan, walaupun tidak memenuhi syarat ilmiah penulis menemukan dua kisah sejarah yang berbeda mengenai lahirnya pasar barter Wulandoni ini.
Menurut Penutur dari Desa Labala, Nama Wulandoni diambil dari nama panglima Perang yang bernama Doni Mata Papa, Sehingga Pasar tersebut dinamakan Wulandoni, “Wulan/Wule” dalam Bahasa Lamaholot berarti Pasar, Sedangkan Doni adalah Nama sang panglima perang . Masih menurut penutur labala, Pasar barter Wulandoni adalah simbol perdamaian bagi masyarakat Kabupaten Lembata pada umumnya dan Kecamatan Wulandoni Khususnya, pada masa sebelum kemerdekaan NKRI, terjadi peperangan yang dahsyat antara orang pantai dan orang gunung, menurut mereka, peperangan ini terjadi akibat dari politik adu domba yang dijalankan oleh penjajah Belanda pada masa itu, orang pantai disebut Paji, sedangkan orang gunung disebut Demon, perang ini berkecamuk begitu lama, memakan korban yang tidak sedikit, ekonomi lumpuh, anak-anak dan wanita kelaparan, Istri harus menjanda, anak-anak menjadi yatim dan piatu. Menyadari kehancuran yang ada di depan mata, para petinggi Paji dan Demon pun sepakat membicarakan perdamaian, Akhirnya kesepakatan perdamaian pun tercapai, untuk menjalin kembali silaturrahmi yang putus, dan memperbaiki kembali ekonomi yang hancur, para petinggi ini sepakat menjadikan lokasi pertemuan mereka sebagai pasar, yang mana kedua belah pihak akan berkumpul dan bersahabat, dan saling tukar menukar barang kebutuhan hidup.
Sedangkan Menurut masyarakat Pegunungan yang pada masa lampau disebut Paji ,Sejarah lahirnya pasar barter Wulandoni bermula dari kesepakatan antar warga Desa Lamalera dan Desa Belobao pada tahun 1960-an, untuk mengadakan Jual beli di lokasi Pasar Wulandoni saat ini sehingga setelah sekian lama pasar ini menjadi semakin besar dan eksis hingga saat ini*
Apapun perbedaan mengenai latar belakang sejarah berdirinya Pasar Barter Wulandoni, Pasar ini telah menjadi roda ekonomi utama masyarakat yang bermukim disekitarnya, pasar ini telah begitu lama mempersatukan, mempersaudarakan begitu banyak dialek Bahasa yang berbeda, agama yang berbeda, adat Istiadat yang berbeda, kisah sejarah yang berbeda, kebutuhan yang berbeda. Pasar Barter Wulandoni adalah ruh ekonomi,ruh Adat, ruh budaya,ruh historis masyarakat wulandoni, walaupun jalur tranportasi putus sama sekali, masyarakat wulandoni masih bisa mengepulkan asap di dapurnya, walaupun krisis moneter separah apapun, masyrakat wulandoni masih mampu mengepulkan asap di dapurnya, walaupun harga BBM naik hingga langit ketujuh masyarakat wulandoni masih bisa hidup bahagia, masih berkecukupan, masih bisa makan, toh uang bukan kebutuhan utama disini.
*Catatan: Untuk Sejarah berdirinya Pasar Wulandoni masih dalam perdebatan, belum ada jawaban resmi mengenai hal itu dari pemerintah. Sejarah yang penulis sampaikan adalah sejarah yang dituturkan oleh penutur masyarakat labala, yang pada masa lampau berada dalam kelompok paji, sedangkan dari kelompok Demon Memiliki Kisah yang berbeda dan bertentangan, Penulis sengaja meninggalkan catatan ini agar jangan sampai terjadi ketersinggungan ke dua belah pihak.
[caption id="attachment_340318" align="aligncenter" width="720" caption="Teluk Labala, Keindahan yang mempesona"]
Semoga kedamaian, ketentraman selalu menghiasi kampung halamanku tercinta Amiinn…..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H