Mohon tunggu...
YoubaMono
YoubaMono Mohon Tunggu... Mahasiswa - penikmat senja

Mulai dari yang kecil, Mulai dari diri kita dan Mulailah saat ini juga.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebatang kara dalam sepi

11 Oktober 2021   00:42 Diperbarui: 11 Oktober 2021   01:02 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayah masuk Penjara

Ibu telah tiada

Dan Aku hidup sebatang kara

Saat ini aku adalah seorang pelajar Sekolah Menengah Atas kelas 12. Setelah beberapa tahun ayah tertangkap polisi saat mengantarkan Narkoba di salah satu tempat Karaoke oleh teman nya sendiri karena desakan kebutuhan hidup keluarga kami. Sebelumnya ayah bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik tak jauh dari rumah kami. Namun dikarenakan ada nya PHK massal di pabrik tersebut, ayahku termasuk di dalam nya setelah 10 tahun bekerja, ia tidak mendapatkan Uang pesangon sedikit pun karena keuangan pabrik juga sudah berantakan. Sementara kehidupan terus berlanjut, namun ayah belum jua mendapatkan pekerjaan sehingga terdesak menghalalkan segala cara agar keluarganya bisa makan. ibu menangis menjerit panik saat tahu ayah masuk bui. Aku yang saat itu masih kelas 9 SMP, bingung bagaimana cara untuk menenangkan hati ibu yang sedang carut marut tersebut.

Setelah Ayah mendekam di dalam Bui, ibu mulai bekerja sebagai ART di komplek seberang desa dan menjadi tulang punggung untuk keluarga kami. Sesekali ibu mengajak ku berkunjung ke lapas untuk menengoki ayah sembari membawakan makanan kesukaannya yaitu sayur lodeh dan juga sambalan tempe. Kondisi ayah sangat memprihatinkan di dalam sana, badan nya kurus kering tak terurus, rambut nya mulai dipenuhi dengan uban dan muka nya tampak lesu menyesali kesalahan nya di masa lalu. Pengadilan memutuskan 20 tahun vonis penjara, tak banyak yang bisa kami lakukan untuk melakukan banding karena tak mampu menyewa jasa pengacara. Jangankan menyewa pengacara, untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari saja ibu sudah banyak berhutang kesana kemari, sedangkan rumah kami pun masih mengontrak.

Sempat untuk memutuskan berhenti sekolah namun dilarang oleh ibu, ibu ingin aku terus melanjutkan sekolah. Tak tega dengan kondisi ibu yang kelelahan bekerja, aku pun mulai mencari pekerjaan sampingan selepas pulang dari sekolah, ditambah sebentar lagi aku ujian dan akan melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas, minimal aku bisa mandiri membiayai kebutuhan ku sendiri tanpa menambah beban untuk ibu.  Saat aku sudah mulai masuk SMA kelas 11, peristiwa nahas terjadi lagi dalam keluarga kami. Ibu mengalami kecelakaan saat pulang bekerja, dirinya ditabrak pengendara mobil yang ugal-ugalan dan dalam pengaruh alkohol. Ibu sempat dirawat di rumah sakit karena pendarahan otak dan koma sekitar 2 minggu. Namun karena kondisi nya yang terus menurun, ibu menghembuskan nafas terakhir nya tanpa pernah mengucapkan satu patah pun kata perpisahan dan melihat diriku untuk terakhir kali.

Kini hidupku sebatang kara dalam sepi, ayah mendekam dalam bui, sedangkan ibu hanya tinggal dalam memori. Ku terbayang Kembali keinginan ibu agar terus melanjutkan pendidikan. Tak pernah ku lelah berjuang untuk mewujudkan impian ibu dan meraih semua cita-cita ku. Terkadang rasa rindu itu hadir, Terkenang kembali senyum ibu dan ayah saat mereka masih berkumpul bersama. Makan malam bersama dengan makanan yang selalu ayah bawa saat pulang bekerja, sambil bercerita tentang segala kisah yang telah dilalui sepanjang hari, bercanda dan tertawa Bersama. namun kini semua tak sama lagi, masa-masa itu hanya bersemayam di dalam hati. Orang pergi masih bisa tuk dicari, namun orang mati kemana harus kucari?  ini merupakan takdir yang harus dilalui dari sang Ilahi, tak perlu ada yang disesali, walaupun sedih namun harus diterima dengan lapang hati.

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun