Di setiap pilkada dan pilpres, para buzzer kebanjiran order. Berbeda dengan media mainstream, kelompok buzzer ini bukan hanya efektif dalam membuat framing bahkan juga bisa bermain kasar, misalnya dengan hate speech, hoaks, dan fitnah.
Ada banyak sekali kelompok buzzer di negeri ini. Kita bisa membangun sendiri atau menyewa cyber army sesuai dengan kebutuhan yang kita perlukan. Hehehehe.
Kerja para buzzer yang sangat efektif membuat mereka banyak disewa oleh sebuah kelompok untuk melawan pesaingnya. Akibatnya terjadilah perang antar buzzer dari dua kutub yang berlawanan.
Dalam kontestasi politik, keberadaan buzzer mulai dianggap meresahkan. Tempo bahkan dengan terang-terangan menyerang keberadaan buzzer dan mencurigai pemerintahlah yang mengendalikan buzzer tersebut.Â
Mereka menuntut supaya pemerintah menertibkan keberadaan buzzer. Tapi saya berpendapat akan sulit sekali menertibkan keberadaan kelompok buzzer ini.Â
Selama ada demand pasti ada supply. Dan demand untuk buzzer sepertinya semakin lama semakin tinggi. Kita tunggu kebijakan pemerintah untuk menertibkannya.
Kembali ke kasus Wiranto. Peristiwa yang dialami oleh menkopolhukam ini benar-benar terjadi. Wiranto jelas-jelas diserang oleh teroris. Ada videonya, ada saksinya dan ada barang buktinya.Â
Ada lukanya dan ada pisaunya. Berbeda dengan kasus Ratna Sarumpaet yang hanya berdasarkan ceritanya saja. Tapi ada saja kelompok tertentu yang merasa dirugikan oleh peristiwa tersebut.Â
Mereka mengatakan bahwa peristiwa Wiranto hanyalah rekayasa istana. Lalu perang framing kembali terjadi. Perag antar-buzzer kembali meletus.
Sebetulnya saya gak begitu peduli kalo framing-framing tersebut datangnya dari akun abal-abal. Gak ada gunanya kita mengurus akun abal-abal yang selalu menyebar hoaks dan fitnah.Â
Namun saya cukup heran ketika tweet yang mem-framing peristiwa Wiranto datangnya dari seorang anak Amin Rais. Dia adalah seorang anggota DPRD dari DI Yogyakarta.Â