Mohon tunggu...
Yoyo
Yoyo Mohon Tunggu... Buruh - Lorem ipsum dan lain-lain seperti seharusnya

Tour leader. Pengamat buku, kutu buku, penggila buku dan segala hal yang berbau buku.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Pilpres 2019, Jokowi vs Sandi

6 November 2018   11:16 Diperbarui: 6 November 2018   12:43 1264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tulisan sebelumnya, saya sudah mengatakan bahwa ada ilmu baru dalam politik yang bernama Imagologi. Sebuah strategi yang hanya terfokus pada pencitraan (Imago = Image). Intinya pencitraan itu lebih penting daripada kebenaran. Kebenaran tidak penting. 

Yang penting terpilih dulu. Nanti setelah terpilih, barulah mereka memikirkan bagaimana mewujudkan janji-janji bohong yang telah dilontarkan saat kampanye. Syukur-syukur bisa terealisasi. Kalau tidak, mereka akan memikirkan bagaimana mengcounter ketidakberhasilan itu. Dalam menjalani metode imagologi, hal pertama yang harus dilakukan adalah membuat seseorang menjadi media darling.

Jadi tidak perlu heran kenapa belakangan ini Sandiaga Uno getol sekali blusukan lalu mengeluarkan statement-statement kontroversial. Ya, betul! Tujuannya agar mendapat liputan yang besar dari media. Dengan mengandalkan ilmu imagologi, Sandi terus labrak sana, labrak sini. Mengeritik kebijakan Jokowi, mengeritik Menteri Kelautan, Ibu Susi Pudjiastuti. 

Pokoknya semua diserang yang penting mendapat liputan. Ketika Ibu Susi menanggapi kritikan tersebut, Sandi dengan enteng meminta maaf. Lalu permintaan maafnya kembali disorot media. Setelah itu, dia kembali menyerang sana-sini. Sebetulnya apa yang sedang dilakukannya?

Analisa saya adalah kubu Prabowo ingin mendesain pilpres tahun depan sebagai pertarungan antara Jokowi vs Sandi. Kenapa demikian? Karena pengalaman pilpres sebelumnya sudah terbukti Prabowo kalah dari Jokowi. Kalau pilpres tahun 2019 dipaksakan lagi dengan formasi yang sama, kubu Prabowo merasa akan menerima kekalahan untuk kedua kalinya. Itu sebabnya, Sandi dikedepankan untuk head to head melawan Jokowi.

Memang ada berbagai faktor yang memberi harapan kemenangan jika Sandi yang maju di depan, antara lain; Sandi masih muda dan bisa mendekati kaum melineal yang populasinya membengkak. Sandi kaya raya dan berwajah tampan sehingga dia pastinya disukai emak-emak. Sandi sebagai bisnisman yang handal dianggap mampu meningkatkan kualitas UMKM. 

Dalam skala yang lebih besar, Sandi diharapkan juga mampu memperbaiki perekonomian negeri ini. Pokoknya, banyak kelebihan Sandi yang bisa lebih laku daripada menjual Prabowo. Kekurangannya apa? Agama? Itu gampang. Tugas PKS lah yang melabeli embel-embel ulama padanya. Lengkap sudah perlengkapan berperang.

Umpan Sandi keliatannya sudah dimakan ikan. Kita melihat bagaimana Jokowi memberi respon terhadap sepak terjang Sandi. Jokowi melakukan blusukan lalu berfoto sambil memegang tempe dan menggengam pete sebagai counter untuk mengatakan bahwa apa yang dikatakan Sandi sama sekali tidak benar alias hoax. Relawan Jokowi, tentu saja, membantu memviralkannya. Dan Sandi pun bersorak-sorak kegirangan ketika melihat Jokowi yang sedang terjerat jaring menjadi viral.

Terus terang saya agak kecewa dengan move Jokowi belakangan ini. Presiden kita yang biasanya kalem dan selalu berbicara dengan simbol-simbol, sekarang terlihat sudah tidak mampu lagi mengelola emosi seperti sebelumnya. 

Dia berbicara tanpa simbol bahkan memaki lawan politiknya dengan istilah politisi sontoloyo. Buat saya ini adalah blunder yang perlu segera diperbaiki. 

Jokowi malah mengaku secara verbal bahwa dia jengkel dan juga mengatakan sabar itu ada batasnya... buat saya itu bukanlah Jokowi yang kita kenal. Buat Jokowi seharusnya kesabaran itu tidak berbatas.

Seandainya saya adalah timses Jokowi, saya pasti akan memperingatkannya sejak awal. Seharusnya Jokowi tidak perlu melayani serangan Sandi. Kompetitor memang tugasnya mengganggu brand leader. Ketika Jokowi menanggapi serangan Sandi maka otomatis strategi kubu Prabowo hendak menghadapkan Jokowi bertarung dengan Sandi bisa tercapai.

Masih ingatkah Anda bagaimana petinju legendaris Muhammad Ali memancing Sonny Liston agar mau bertanding dengannya? Sonny Liston waktu itu tidak berminat menghadapi Ali karena saat itu Ali bukan siapa-siapa. Prestasi terbesarnya cuma sebagai peraih medali emas tinju amatir di olimpiade tahun 1960.

Untuk memancing Sonny Liston, Muhammad Ali mengikuti kemana pun Sonny pergi. Di sebuah restoran, ketika Sonny sedang makan, Ali masuk dan mencaci maki Sonny dengan mengejeknya pengecut karena selalu menghindar bertanding dengannya. 

Bahkan pernah juga Ali mengatakan bahwa Sonny Liston anak seorang pelacur. Tentu saja Sonny sangat murka sehingga dia memutuskan untuk menerima tantangan Ali. Tujuannya bukan uang tapi ingin menyiksa Muhammad Ali di atas ring untuk melampiaskan sakit hatinya. 

Sonny sangat yakin kemampuannya jauh di atas Ali. Lalu apa yang terjadi? Liston yang difavoritkan menang justru kalah KO di ronde ketujuh. Ali yang ketika itu berusia 22 tahun akhirnya keluar sebagai juara dunia kelas berat.

Sebagai timses Jokowi, saya tidak akan membiarkan apa yang terjadi pada Sonny terjadi. Saya akan melarang Pak Presiden menanggapi semua gangguan Sandi. 

Jokowi tidak perlu menanggapi apalagi melakukan serangan balik. Sekiranya serangan Sandi terasa sangat mengganggu dan perlu dicounter, silakan cari orang lain untuk melakukannya tapi jangan Jokowi. Biarkan Jokowi bekerja seperti biasa dan jangan menanggapi serangan apapun.

Untuk menghadapi strategi Sandi, saya akan menggunakan strategi Brand Mirror untuk menetralisirnya. Sesuai dengan namanya, brand mirror adalah karakter yang sengaja diciptakan dengan Sandi sendiri sebagai modelnya. Karakter tersebut haruslah mirip sehingga Sandi merasa seperti berdiri di depan cermin dan sedang melihat dirinya sendiri. 

Bagaimana implementasinya? Kita harus mencari orang yang kira-kira cocok untuk bersaing dengan Sandi. Artinya orang itu haruslah muda, tampan, kaya raya, bisnisman dan mampu bersaing dalam segala hal dengan Sandi.

Kalau Sandi ingin menjebak Jokowi untuk berhadapan head to head dengannya, maka karakter ini bertugas mencegah hal itu dan menjebak Sandi agar berhadapan dengan brand mirrornya. Seperti halnya Sandi, tokoh ini awalnya juga harus didesain untuk menjadi media darling. 

Jadi ketika Sandi mengeluarkan pernyataan, "Saya tantang Jokowi blusukan cari variasi ukuran tempe" maka Si Brand Mirror juga mengeluarkan pernyataan, "Saya tantang Sandi blusukan cari variasi ukuran tempe."

Ketika Sandi mengatakan tempe setipis ATM atau harga nasi ayam di Indonesia lebih mahal dari Singapore, Si Brand Mirror harus menantang Sandi untuk membuktikannya bersama-sama. Biarkan dia yang bekerja. Jangan Jokowi.

Intinya Si Brand Mirror ini harus selalu mengikuti setiap gerak-gerik Sandi lalu melakukan serangan balik. Secara garis besar, Si Brand Mirror mengganggu semua gerakan Sandi lalu menempatkannya sebagai musuh yang berhadapan head to head dengannya. Seperti Sandi berdiri di depan cermin dan menghadapi bayangannya sendiri.

"Hey, Sandi! Kamu belum pantas menantang Jokowi. Cukup saya saja yang menghadapi kamu.." Itu tugas Brand Mirror.

Dengan strategi Brand Mirror, Jokowi tidak perlu terganggu lagi karena Sandi sudah disibukkan oleh bayanganya dalam kaca. Biarkan presiden kita ini bekerja dengan tenang dan berbicara dengan simbol-simbol seperti biasanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun