Mohon tunggu...
Yoyo
Yoyo Mohon Tunggu... Buruh - Lorem ipsum dan lain-lain seperti seharusnya

Tour leader. Pengamat buku, kutu buku, penggila buku dan segala hal yang berbau buku.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saya Tidak Percaya Lagi pada Media Mainstream

3 Oktober 2018   12:46 Diperbarui: 3 Oktober 2018   13:19 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pic: Captured from Tompi's Twitter Account

Berita tentang penganiayaan Ratna Sarumpaet tiba-tiba menyeruak. Seluruh timeline Social media saya tiba-tiba dipenuhi oleh berita tersebut. Saya seperti biasa tidak begitu mempedulikan sebuah berita yang datang dari meda yang tidak jelas.

Setelah membaca sekilas lalu saya lupakan dan kembali sibuk dengan rutinitas sehari-hari. Saya akan menganggap berita itu sebagai fakta ketika media mainstream telah menuliskannya. Dari dulu begitulah cara saya untuk menyaring kebenaran sebuah berita.

Namun netizen ternyata semakin heboh. Kicauan Thomson and Thompson, alias Fahri dan Fadli semakin membuat heboh. Belum lagi konperensi Pers yang diadakan oleh Capres Prabowo lalu apa yang terjadi? Media-media mainstream akhirnya memberitakan kasus ini.

Kembali jagat maya terkoyak-koyak. Saling maki dan saling menyalahkan kembali terjadi. Perang hoax dan meme ikut meramaikan suasana. Ujung-ujungnya tentu saja pemerintah yang dituduh sebagai dalang penganiayaan Ratna Sarumpaet. Ujung-ujungnya tentu saja target utamanya adalah Jokowi, Sang Petahana.

Sebetulnya apa yang terjadi? Sampai detik ini belum ada penjelasan dari Ratna Sarumpaet walaupun polda Metro Jaya telah memastikan bahwa saat penganiayaan itu, Ratna tidak berada di Bandung tapi di Jakarta sedang melakukan operasi plastik di sebuah RS di bilangan Menteng.

Saya menduga tidak akan ada statement apapun dari yang bersangkutan. Kasus ini hanya akan menguap begitu saja dan yang tinggal adalah benih kebencian netizen dari dua kubu semakin tumbuh subur.

Analisa saya begini. Bencana alam yang terjadi di Palu dan Donggala telah membuat fokus para netizen beralih ke sana. Gempa bumi dahsyat dengan Tsunami dan lumpur telah menyentuh sisi kemanusiaan penduduk negeri sehingga semua orang tanpa kecuali berlomba-lomba untuk membantu korban bencana.

Kubu Prabowo semakin resah karena mereka berpendapat bahwa setiap bencana alam selalu menguntungkan capres petahana. Bencana alam adalah kreasi Tuhan, jadi tidak mungkin menuduh pihak pemerintah telah sengaja menciptakan gempa bumi sebagai pengalihan issue.

Buat Kubu Prabowo, setiap kunjungan petahana ke lokasi bencana adalah pencitraan. Semua bantuan dari Jokowi adalah bentuk kampanye. Suka tidak suka, memang itu ada benarnya. Dan suka tidak suka, itu memang keuntungan yang diperoleh petahana di dunia manapun saat pilpres. 

Sebaliknya, partai oposisi juga mempunyai priviledge. Mereka dapat menyerang lawannya yang sedang berkuasa secara agresif. Strategi psywar adalah taktik yang paling umum digunakan untuk memancing lawannya. Sementara petahana terkondisikan untuk diam. Sekali saja mereka terpancing atau kebanyakan ngomong, terbukalah peluang bagi lawan untuk berdemo dan menjatuhkannya. Hal itulah yang terjadi pada Ahok saat menjabat sebagai gubernur Jakarta. 

Itu sebabnya, duo Thomson and Thompson dibantu oleh Ratna Sarumpaet dan berbagai tokoh lainnya sangat vokal menyerang petahana. Segala cara diupayakan untuk menghalangi dan menyerang petahana dengan berbagai cara. Misalnya dengan membuat pernyataan supaya Jokowi tidak menggunakan fasilitas kepresidenan untuk pergi ke Palu. Alasannya, saat itu, Jokowi statusnya sama seperti Prabowo yaitu sebagai capres. Bukan sebagai presiden.

Selain menguntungkan petahana, bencana alam telah menurunkan intensitas perang hoax. Semua sibuk memfokuskan perhatiannya ke Palu akibatnya suhu di jagat alam maya mulai sejuk. Kubu Prabowo merasa perlu memikirkan sebuah issue yang dianggap punya news value yang kuat. Sebuah kabar yang mampu mengalihkan kepala netizen ke masalah pilpres kembali.

Maka dibuatlah berita penganiayaan Ratna Sarumpaet di atas. Kenapa Ratna yang dipilih? Karena selain tokoh yang sangat vokal, dia juga perempuan yang sudah uzur pula. Adalah sangat tidak pantas tokoh seperti itu mendapat penganiayaan, bukan? Masalahnya adalah apakah media mainstream mau memuatnya? Kubu Prabowo menyadari bahwa tidak mudah membuat media mainstream menulis berita yang belum dipastikan kebenarannya. Mereka semua berada di bawah Dewan Pers yang mempunyai kode etik. Apalagi sebagian besar media mainstream di negeri ini cenderung berpihak ke Jokowi.

Untuk menyiasati masalah tersebut, dibuatah strategi dengan menyelenggarakan konperensi Pers dan Prabowo sendiri yang memberikan pernyataan. Bayangkan, seorang capres, Jenderal Bintang Tiga memberikan pernyataan. Pernyataan apapun jika yang mengatakan seorang Prabowo tentu saja sekonyong-konyong menjadi penting.

Dan jadilah berita penganiayaan nenek-nenek berusia 70 tahun itu menjadi jauh lebih ramai dari sebelumnya. Kenapa demikian? Karena media mainstream sekarang telah ikut memberitakannya. Sebuah konspirasi yang tidak elok dan tidak memberi keteladanan politik yang baik untuk generasi selanjutnya. Ini adalah sebuah analisa dan saya berdoa semoga analisa saya salah.

Apabila analisis saya benar adanya maka peristiwa Ratna Sarumpaet ini jelas akan meninggalkan dua hal: Pertama, peperangan antar dua kubu di dunia digital akan semakin mengerikan. Dan kedua, saya tidak bisa lagi mengandalkan pada media mainstream untuk menyaring apakah sebuah berita itu fakta atau hoax. Kalian media mainstream terlalu lugu dan sangat mudah untuk disiasati.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun