"Oh, ya? Seperti apa lagi mimpinya?" tanya saya penasaran.
"Pernah juga aku mimpi lagi lari pagi di taman bersama Mark. Tiba-tiba ada Papa kamu duduk di bangku taman lalu melambaikan tangan sambil tersenyum."
"Kamu nggak ketakutan, kan?" tanya saya kuatir Papa menakuti Cindy.
"Sama sekali nggak takut. Justru malah bikin aku kangen sama kamu dan Papa."
"Baguslah kalau begitu," kata saya lega.
"Tapi karena mimpi itu datang terus-menerus, akhirnya aku berkesimpulan pasti ada sesuatu yang nggak beres."
Kali ini saya tidak menyahut dan hanya memeluk teman saya ini lebih erat.
"Jadi aku memutuskan untuk ke Jakarta sekalian nengokin kamu."
"Kok, kamu tau Papa dirawat di Rumah Sakit Cipto?" tanya saya penasaran.
"Aku telpon kamu tapi nggak pernah diangkat. Jadi aku telpon Mama. Dia yang kasih tau kalo Papa kamu sakit."
Ah... Papa memang luar biasa. Saya pernah menanyakan, kenapa Papa mendoakan Cindy tapi Cindynya tidak datang. Sementara orang-orang lain yang Papa doakan banyak sekali yang berkunjung. Dan ternyata saya salah. Cindy datang. Saya salah sepenuhnya.