Mohon tunggu...
Yos Winerdi
Yos Winerdi Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara

Hobi menulis tentang politik dan hukum. Saat ini sedang menyelesaikan studi S2 Hukum di Jayabaya. Sebagai pengacara berkantor di Bekasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada Upaya Wujud Demokrasi

5 Juli 2024   08:12 Diperbarui: 5 Juli 2024   20:14 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia merupakan negara demokrasi, sebuah negara dimana kepala pemimpin nasional dan daerahnya dipilih secara langsung atau disebut dengan direct eletion. Pemilihan pemimpin, merupakan wujud demokrasi guna mewujudkan kesejahteraan sosial. Pemilihan langsung Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya pertama kali dilaksanakan pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) Tahun 2008. Landasan yuridis mekanisme pelaksanaannya diatur berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024. Melalui gelaran pilkada akan dilaksanakan secara serentak dan nasional pada tanggal 27 Novermber 2024 adalah merupakan implementasi dari Pasal 201 Ayat (8) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016. Perhelatan demokrasi bersifat lokal ini tampaknya tidak menyurutkan antusiasme masyarakat untuk memilih kepala daerahnya. Fenomena ini terlihat dari intensitas aktifitas persiapan menghadapi pilkada semakin terasa, baik dari kandidat, partai politik dan para pendukungnya.

Demokrasi yang merupakan cerminan kedaulatan rakyat merupakan kebebasan memilih pemimpin sebagai keputusan mayoritas. Mampu melegitimasi seorang pemimpin menjalankan pemerintahannya yang sangat mempengaruhi arah kehidupan dan pencapaian kesejahteraan masyarakat beberapa tahun kedepan. Pentingnya arti seorang pemimpin maka pergunakanlah kedaulatan sebagaimana mestinya. Penegasan hak kedaulatan sendiri, secara tegas disebutkan pada pembukaan UUD 1945 bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan sering dimaknai dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Pilkada yang merupakan wujud implemetasi dari demokrasi. Sedangkan demokrasi terbangun dari keterlibatan aktif masyarakat dalam memilih pemimpinnya, tanpa diskriminasi. Kesifatan lokal pesta demokrasi ini tidak serta merta mengkerdilkan pembatasan kriteria pilihan, malah menjadi bahan renungan sebelum menjatuhkan pilihan sehingga tidak terjadi salah pilih.

Pesta dekomokrasi kali ini diikuti 37 daerah provinsi dan 508 daerah kabupaten kota. Jumlah partisipasipan besar dalam rangka mewujudkan amanat undang-undang tentang pemilihan pemimpin kepala daerah secara serentak diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia sebagai negara demokrasi-konstitusi tidak hanya berusaha menterjemahkan tentang kedaulatan ada ditangan rakyat namun yang terpenting untuk memastikan apakah pelaksanaan pemerintahan yang sudah terbentuk nanti sudah sesuai dengan cita-cita dan aturan hukum (uu) itu sendiri.

Sudah banyak regulasi yang dibuat tentang tata laksana dan aturan penyelenggaraan pilkada tapi dalam prakteknya pelanggaran masih banyak terjadi. Terutama berkaitan dengan proses pemenangan kandidat melalui cara-cara bersebarangan dengan tujuan konstitusi. Sehingga hasil yang diperoleh dipastikan tidak merupakan representatif dari antusiasme masyarakat selain hanya keinginan seseorang pribadi dan kelompoknya.

Bercermin dari pelaksanan pilpres kemarin, maka terlalu banyak yang harus dibenahi terutama berkaitan dengan aturan hukum, moral dan etika para kontestan. Aturan hukum dibuat bertujuan ketertiban dan keamanan bersama,  bukan sebaliknya untuk kepentingan pribadi atau golongan. Jangan tempatkan hukum sebagai rule by law tapi tempatkan hukum fungsinya sebagai rule of law. Jika hukum dijalankan sebagai rule by law maka sangat berbahaya karena sekelompak orang haus kekuasaan (oligarki) bisa mengambil peluang untuk melakukan akumulasi atau sentralisasi  kekuasaan dipusaran mereka, dengan cara merubah aturan hukum yang kelihatannya seperti sah dan prosedural.

Posisikan Pilkada sebagai ajang pertarungan ide, visi dan misi kandidat yang sejatinya dilakukan secara fair dan terbuka. Letakan moral dan etika di atas kepentingan pribadi dan kelempok. Apa yang sudah terjadi di pilpres jangan sampai terulang lagi dipilkada karena sudah mendegradasi konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum dimana hukum sejatinya dijadikan sebagai panglima. Mengulik peristiwa kejadian tentang istilah Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution atau pengawal konstitusi. Yang Beberapa waktu lalu, MK telah diartikan sebagai Mahkamah Keluarga. Peristiwa tersebut merupakan pukulan terberat bagi rakyat Indonesia sebagai negara hukum (nomokrasi) dan demokrasi. Bagaimana tidak, Sebuah lembaga sebesar MK yang memiliki tugas dan wewenang besar sebagai penguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar saja dapat dikendalikan oleh sekelompok orang dan bekerjasama dengan partai politik yang ketua umumnya rata-rata sudah terpasung. Sehingga peristiwa-peristiwa politik yang terjadi ketika itu sangat memalukan eksistensi Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar didunia. Kedepan, perisitiwa manipulasi hukum yang terjadi selama proses pilpres kemarin tidak terjadi lagi. Jangan ada lagi manipulasi hukum di pilkada mendatang yang akan digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan atau memperoleh kekuasaan baru. Rakyat tidak bodoh dan sudah tahu cara-cara yang dilakukan oleh orang-orang yang menempatkan hukum sebagai pelindung dan pengaman kepentingannya dengan dalih demokrasi.

Menjelang Pilkada,  ada sebuah peristiwa yang indentik dengan hegemoni politik dinasti dikuatirkan terjadi lagi dengan adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah batasan waktu usia calon kepala daerah. Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 Pasal 4 Ayat (1) oleh MA dinyatakan bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2016. Persepsi sepihak, Justru PKPU Nomor 9 Tahun 2020 itu memuat materi ketentuan Pasal 7 dari Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 yang mengatur ketika saat mencalonkan diri atau dicalonkan Cagub dan Cawagub minimal harus berusia 30 tahun. Sedangkan untuk Cabup dan Cawabup dan Cawali atau Cawawali harus berusia minimal 25 tahun. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 23 P/HUM/2024 atas uji materi PKPU No. 9 Tahun 2020 memutuskan persyaratan umur tersebut yang semula menurut UU sebagai Syarat Pencalonan kini menjadi Syarat Pelantikan. Keputusan MA tersebut diterbitkan berdasarkan pengajuan permohoan hak uji materi (HUM) oleh Ahmad Ridha Sabana. Kecurigaan timbul, ini dibuat untuk kepentingan siapa dan kalau tidak untuk siapa-siapa kenapa perubahannya secara tiba-tiba. Apakah ini usaha untuk mengakomodir pihak-pihak yang berkepentingan dengan kekuasaan seperti yang terjadi di pilpres 2024. Semoga pendangkalan makna dan tafsir hukum serta demokrasi tidak terulang lagi di Pilkada tahun 2024 ini.

Tentang seorang pemimpin, Plato (429 SM) seorang filsuf Yunani mengatakan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama menjadi seorang pemimpin tapi tidak semua orang memiliki kararteristik yang sesuai menjadi seorang pemimpin (leadership). Plato dalam bukunya berjudul POLITIEIA mengatakan betapa pentingnya karakter seorang pemimpin. Pemimpin yang berkarekter akan konsisten dengan komitmennya. Kriteria seorang pemimpin menurut Plato ini masih relevan sampai saat sekarang, Namun yang terjadi dalam 10 tahun terakhir ini banyak pemimpin secara terang-terangan mengangkangi makna kedaulatan rakyat hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. 

Mengorbankan kepentingan umum melalui praktek-praktek illegal seperti merubah hukum, membeli suara, penggelembungan suara dan manipulasi bansos akan membuat demokrasi di Indonesia akan kembali ke titik nadir. Perilaku lain termasuk membangun dan menggiring opini-opini sesat untuk menjatuhkan lawan politik merupakan perbuatan yang mengotori makna demokrasi itu sendiri. Sehingga demokrasi akan semakin membusuk akibat adanya  praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang hampir melibatkan seluruh elemen dalam masyarakat.

Pergunakan kesempatan langkah ini sebaik-baiknya untuk memilih pemimpin. Pilihlah pemimpin yang berkarakter elok dan baik sehingga dapat menempatkan praktek hukum, moral dan etika dalam kepemimpinannya. Jangan memilih seorang pemimpin yang menghargai kedaulatan dengan lembaran uang. Jangan memilih seorang pemimpin yang menempatkan janji untuk menarik simpatimu. Pilihlah pemimpin yang benar-benar menghargai kedulatanmu dengan cara melihat track record perilaku, karakter dan orang-orang yang berada disekitarnya sebelum menentukan pilihan.

Penulis :

Ir. Yos Winerdi. DFE. SH.

(Pengamat Politik Hukum dan Pidana)

Pengacara, Advocat dan Konsultan Hukum

Kantor Hukum Lawyer Integrated Solution (LIS)

Study Megister Hukum (S2), Universitas Jayabaya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun