MEGA KORUPSI 271 T MOMENTUM HUKUMAN MATI
Beberpa waktu lalu publik dikejutkan viralnya kasus korupsi 271 T, korupsi tata kelola niaga PT. Timah Bangka-Belitung. Kasus korupsi ini diduga melibatkan seorang artis Sandra Dewi dan suaminya Harvey Moeis seorang pengusaha pertambangannasional. Jumlah yang sangat besar sudah pasti melibatkan banyak pihak. Berbahayanya pelaku kejahatan korupsi digambarkan dengan jelas dalam bahasa latin, yang berasal dari kata “corruptus” dan “corruptio” berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian.
Di Indonesia kejahatan korupsi terus meningkat, penyebabnya tidak lain adalah Tidak adanya ketegasan penjantuhan pidana oleh hakim kepada koruptor, Penegak hukum dalam penegakan hukum tidak berintegritas malah pada kasus tertentu penegak hukumnya ikut serta dalam pusaran. Sikap pemerintah yang masih setangah-setengah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bahkan ada seorang pejabat pemerintah mengatakan “OTT Tidak Bagus, KPK Jangan Sedikit-Sedikit Tangkap, Kalau Mau Bersih di Surga Saja Kau. Ucapan dari seorang pejabat yang cukup populer ini sangat berbahaya dan dapat menjadi racun dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Menjelang berakhirnya masa jabatan Presiden Jokowi, kejahatan korupsi di Indonesia semakin tidak terkendali dan mengkuatirkan. Indeks Persepsi korupsi Indonesia stagnan diangka 34, angka yang sama dengan tahun kemarin mengindikasikan "tidak kerja". Peringkat sebagai negara terkorup naik dari 110 menjadi 115 dari 180 negara. Angka-angka tersebut mempresentasikan atas jawaban ketidakseriusan dan komitmen pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi. Bahkan sampai saat ini kecurigaan publik masih belum hilang dalam ingatan ketika pemerintah dan DPR secara bersama-sama berhasil merubah UU Nomor 30 Tahun 2002 melalui revisi keduanya menjadi UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 dalam usaha melemahkan kpk.
Kasus korupsi 217 T masih di sidik jaksa agung muda tindak pidana khusus (jampidsus). Kasus ini terungkap melalui metode pengembangan kasus (case buliding) tentang kerja sama antara PT Timah dengan pihak swasta. Proses kesepakatan ini diduga keras ilegal ada indikasi melawan hukum serta mufakat jahat sehingga merugikan negara. Penghitungan kerugian negara pada dasarnya meliputi kerugian rusaknya lingkungan, biaya pemulihan lingkungan dalam jumlah yang sangat besar dan hasil yang telah diperoleh selama mengelolah pertambangan timah tersebut.
Korupsi dalam jumlah besar merupakan kejahatan yang tidak dapat berdiri sendiri. Butuh kerja sama antara pelaku sehingga Adanya unsur pemufakatan jahat (samenspanning). Adanya unsur tersebut dapat dijadikan unsur pemberat sebagai pertimbangan hakim dalam pemidanaan. Ini momentum bagi penegak hukum menghukum pelaku seberat-beratnya atau vonis MATI. Di Indonesia, vonis Mati baru hanya sebagai wacana saja dan bahan diskusi menarik dipelbagai kesempatan. Mendesaknya penerapan vonis maksimal atau MATI dapat dijadikan pelajaran bagi siapa saja yang berniat melakukan korupsi.
Merujuk Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. pelaku tindak pidana korupsi pada Pasal 2, Ayat (2) pelakunya dapat di ancam hukuman maksimal sampai vonis mati.
Pada Ayat (1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Unsurnya adalah Perbuatan melawan hukum, Memperkaya diri sendiri atau orang lain dan Merugikan keuangan negara
Ayat (2)
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan
Unsurnya adalah Keadaan tertentu
Keadaan tertentu adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Ada beberapa alasan menurut penulis dapat dijadikan pijakan untuk menghukum para koruptor dengan hukuman maksimal atau Mati,adalah:
- Jumlah kerugian yang dialami negara sangat besar terutama berkaitan dengan lingkungan.
- Ada pemufakatan jahat dalam kasus ini, tercermin dari jumlah kerugian besar yang dialami negara,
- Ada unsur perencanaan dan keadaan tertentu, dimana negara masih dalam kondisi pemulihan ekonomi pasca bencana covid 19 dan imbas resesi global.
- Melibatkan pejabat inggi negara
Penguatan vonis maksimal atau MATI kembali diperjelas oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan pada Pasal 2 dan Pasal 3 uu TIPIKOR. Dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tingkat koruptor dibagi menjadi lima dari yang paling berat, berat, sedang, ringan dan paling ringan. Khusus Koruptor kategori paling berat dapat di hukum penjara seumur hidup bahkan vonis mati. Salah satu syarat dari 12 syarat tentang penjatuhan vonis mati menurut PERMA adalah terdakwa melakukan tindak pidana korupsi yang jumlahnya lebih dari 100 miliar.
Adanya kedua aturan hukum tersebut UU TIPIKOR dan PERMA seharusnya penegak hukum tidak ragu dan harus yakin memvonis pelaku dengan hukuman maksimal atau MATI. Proses pembuktian kasus korupsi 271 T yang sedang berlangsung tidaklah mudah karena kompleksitas dalam memaknai kondisi tertentu menurut uu, konversi real kerugian negara dalam bentuk uang serta membuktikan adanya unsur kesepakatan terutama pemufakatan jahat dalam melakukan tindak pidana korupsi.
Pembahasan tentang pemufakatan dan akibat hukumnya sudah diatur dalam Pasal 15 UU TIPIKOR bahwa:
“Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”. Jelas dalam pasal tersebut di atur bahwa apabila ada/terjadi pemufakatan dalam melakukan tindak pidana korupsi maka pelaku dapat dihukum sesuai pasal-pasal yang ditentukan di atas termasuk Pasal 2 yang menyinggung hukuman maksimal atau vonis Mati.
Penghormatan terhadap hak asasi manusia sesuai Pasal 5 UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 buat pelaku korupsi jangan dijadikan alasan untuk meringankan hukumannya. Hak asasi kaitannya terhadap hak tersangka ketika diperiksa tetap diperlakukan sesuai asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) bahwa “setiap orang wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan”.
Viralnya kasus Vina Cirebon akhir-akhir ini, terasa perkembangan penyelidikan dan penyidikan kasus mega korupsi 271 T agak melambat, Publik bertanya-tanya apakah viralnya kasus Vina merupakan pengalihan isu terhadap kasus mega korupsi ini. Kekuatiran publik sebentar lagi akan terjawab melihat perkembangan kasus Vina Cirebon. Tapi, apapun itu, bagi publik kasus korupsi 271 T harus secapatnya dituntaskan karena publik sudah terlanjur dilibatkan dengan viralnya kasus ini. Proses hukumnya harus dipercepat, semua pelaku yang terlibat harus ditangkap, disidangkan dan dihukum seberat-beratnya (keadilan retributif).
Saat ini total tersangka sudah mencapai 21 orang dengan alat bukti dan barang bukti yang cukup. Kinerja kejagung patut diapresiasi atas prestasi penangkapan para tersangka. Publik menaruh kepercayaan kepada kejaksaan terhadap konsistensi keberlangsungan penyidikan sampai pelaksanaan putusan vonis nanti.
Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia belum maksimal dan optimal karena penegakkan dan pengawasan aparat hukum masih lemah dan tidak konsisten. Penindakan terhadap para pelaku korupsi dasar pijakan hukumnya sangat kuat dan jelas, yang masih menjadi masalah adalah implementasi hukumannya masih jauh dari apa yang telah ditetapkan oleh undang-undang (norma hukum). Hal inilah yang membuat kepastian hukum tentang tindak pidana korupsi di Indonesia menjadi lemah akibatnya tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya.
Kasus korupsi 271 T adalah hal yang krusial untuk dikawal karena Mahkamah Agung dalam penegakkan hukum bukanlah suatu lembaga yang dalam pelaksanaan tugasnya murni independen seperti kpk. Sehingga rentan terhadap intervensi dari pihak manapun dan sulit dihindari akibatnya sangat mengganggu kinerja KEJAGUNG. Saat ini masyarakat bukannya ragu akan kemampuan KEJAGUNG tapi lebih kearah konsistensi lembaga ini bertahan dari tekanan politik dan pengaruh kekuasaan. Menurut penulis, dengan viralnya kasus ini dapat dijadikan momentum untuk menggalang kekuatan publik dengan cara melibatkan publik sebagai pengawas kinerja KEJAGUNG karena kasus ini sangat kental dengan unsur kolusi dan nepotismenya sehingga banyak pihak terus berusaha mengagalkan proses hukumnya untuk diproses.
Penyelesaian kasus ini sebenarnya tidaklah rumit sepanjang KEJAGUNG konsisten serta berintegritas dalam penegakan hukum, sehingga tidak ada lagi kekosongan hukum untuk menjawab fakta hukum yang dapat dijadikan dalih kasus ini tidak diproses secara profesional.
Penulis :
Ir. Yos Winerdi. DFE. SH.
Kantor Hukum “Lawyer Integrated Solution (L.I.S)”
Pengacara, Advocat dan Konsultan Hukum
Study Megister Hukum (S2), Universitas Jayabaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H