Mohon tunggu...
Yosua Raymond Simanjuntak
Yosua Raymond Simanjuntak Mohon Tunggu... Human Resources - Yosua

Do everything you want, think later.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kepemilikan Media yang Terorganisir

19 Mei 2020   01:10 Diperbarui: 19 Mei 2020   01:08 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia setidaknya memiliki 2700 media yang terverifikasi oleh Dewan Pers dari total 47.000 media yang terdapat di Indonesia, dengan kata lain 80% media di Indonesia masih belum terakreditasi sehingga sangat memungkin terjadinya penyebaran informasi yang tidak baik. 

Dari total 2700 media yang terverifikasi, 47 diantaranya dimiliki oleh 8 Raja Media di Indonesia yaitu, Surya Paloh, Dahlan Iskan, Aburizal Bakrie, Jakob Oetama, Chairul Tanjung, Hary Tanosoedibjo, Eddy Sariaatmadja, dan James Riady.

Menurut Ignatius Haryanto selaku Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) dilansir dari Kompas.com, konglomerasi media akan mengancam hakikat wartaman yang selama ini bersikap independen. Perubahan hakikat tersebut nantinya akan mengubah sudut pandang terhadap suatu berita sehingga akan sangat besar kemungkinannya informasi yang sampai kepada publik menjadi tidak relevan dan justru menggiring pola pikir publik (framing) kearah dari media mana yang Ia konsumsi. 

Sementara di sisi lain, keberadaan konglomerasi perusahaan media massa juga dianggap tidak memberi banyak kontribusi pada perlindungan dan peningkatan kesejahteraan para pekerja pers. Pemilik media akan cenderung melindungi reputasi perusahaannya dan dirinya sendiri, terlebih lagi apabila pemilik media tersebut terjun langsung dalam dunia politik.

Hal serupa terjadi ketika bencana semburan lumpur panas yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Lumpur panas tersebut pertama kali muncul pada tanggal 29 Mei 2006 yang berasal dari Sumur Banjarpanji 1, Porong, Sidoarjo. Meskipun hingga saat ini penyebab terjadinya semburan lumpur panas masih menjadi pro dan kontra antara kondisi alam dan kesalahan dalam pengeboran, namun Lapindo Brantas Inc bertanggung jawab penuh karena semburan tersebut terjadi sejak pengeboran berlangsung dan Lapindo Brantas Inc sebagai perusahaan yang melakukan aktivitas pertambangan sepenuhnya harus mengucurkan dana ganti rugi terhadap luas tanah yang telah tertutupi oleh semburan lumpur panas sehingga lumpur panas tersebut dipanggil dengan sebutan Lumpur Lapindo. Lapindo Brantas Inc sendiri merupakan perusahaan yang terafiliasi dengan Group Bakrie yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie.

Terkait dengan kepemilikan media tersebut, Group Bakrie yang memiliki media Visi Media Asia, TVOne, ANTV, dan Vivanews menjalankan peran untuk melindungi reputasi pemiliknya, terlihat dari berita yang diedarkan kepada publik. Namun hal tersebut tidak akan kita temui dalam berita-berita diluar dari Group Bakrie.

Berita-berita mengenai Lumpur Lapindo yang diangkat oleh Group Bakrie pada umumnya akan dihiasi dengan kata-kata yang halus dan sudut pandang lebih baik sehingga memberikan pengaruh positif kepada masyarakat, seperti judul artikel dalam Viva.co.id berikut ini, "Pekan Depan, Korban Lumpur Lapindo Sidoarjo Dapat Ganti Rugi", "Dana Talangan Lapindo Senilai Rp 781,7 Miliar Cair Besok", dan "Profesor Stephen Miller: Lumpur Sidoarjo Bencana Alam" dan beberapa berita lainnya. Hal yang berbeda akan sangat mudah kita dapat dalam media non-Group Bakrie, seperti misalnya salah satu artikel dari IndoProgress.com "Pelanggaran HAM Berat Kasus Lumpur Lapindo", kemudian pada CNN Indonesia dengan judul "'Awan Hitam' Perusahaan Bakrie di Tengah Talangan Lapindo", dan Kabar 24 dengan judul "Tunggakan Dana Talangan Lumpur Lapindo, Grup Bakrie Lakukan Negoisasi."

Publik tentunya ditempatkan dalam posisi yang dilema terkait dengan isu-isu yang diangkat dan framing yang terdapat dalam sebuah media. Pemberitaan yang berbau unsur framing akan ssemakin sangat mudah ditemui dalam fase-fase kampanye menjelang Pemilu ataupun Pilkada. Pemilik media yang terlibat langsung dengan pemerintahan dan politik justru menggunakan media sebagai alat dalam menarik simpati masyarakat, padahal jurnalis Indonesia harus bersikap Independen.

Jurnalis yang melakukan keberpihakan telah dilarang dalam Kode Etik Jurnalistik, yaitu pada pasal 1 yang berbunyi "Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk" dan pasal 3 yang berbunyi "Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah."

Berita yang berisi keberpihakan tentunya tidak sesuai dengan tujuan Jurnalistik yang menjunjung tinggi kesejahteraan masyarakat. Berita yang tidak independen juga akan berpotensi menciptakan stigma buruk terhadap seseorang atau kelompok. Berita yang dihasilkan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu pada akhirnya justru akan berimbas kepada masyarakat sendiri yang mana pada prinsipnya masyarakat menjadi acuan pertama.

Referensi :

Dewan Pers. (2013). PERS Berkualitas, Masyarakat Cerdas. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT).

Made. (2010, 03 03). Nasional. Retrieved from Kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2010/03/03/21451329/Konglomerasi.Media.Massa.Ancam.Kebebasan.Pers?page=2

https://tirto.id/8-konglomerat-media-di-indonesia-via-jalur-media-tv-cetak-cEv7

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun