Ia menjadi sosok yang hanya fokus pada satu sisi kehidupan yakni: bekerja sesuai perintah dan bekerja sesuai pola. Â Bila pembaca ingin melihat filmnya, silakan berselancar ke channel Charlie Chaplin.
Apa yang dilakonkan dalam film ini menarik perhatian saya karena begitu  menggambarkan pola pendidikan saat ini yang masih mendidik anak-anak dengan gaya mesin: sesuai pattern dan sesuai apa yang telah diprogramkan/diperintahkan dari atas, tidak peduli apakah itu dibutuhkan sekarang atau tidak! Pokoknya lakukan saja.Â
Belum lagi bila kita berbicara hasil didik yang harus selalu berupa nilai angka untuk mengukur keberhasilan dan ketercapaian kerja seseorang. Sama seperti Charlie yang bekerja sesuai perintah dan sesuai pola, demikian pula para  pendidik maupun naradidiknya yang akhirnya  tanpa sadar membudayakan system semacam ini.Â
Sistem Pendidikan yang sesuai pola, perintah dan pattern yang selalu dianggap berhasil padahal dibalik itu ada kreatifitas yang terbunuh dan kekayaan cara belajar yang diborgol karena tidak sesuai sistem.
Bukankah anak-anak sampai saat ini yang kemampuannya masih diukur menggunakan angka nilai dan keaktifan dalam mengumpulkan tugas sekolah bahkan. "Mau dia baik atau sopan tapi kalau nilainya jelek ya tetap saja anak yang bodoh", "Mau dia sering memenangkan lomba non akademik, tetap saja dimasyarakat akan dianggap sebagai anak yang kurang  cerdas karena rapornya pas-pasan" Masih banyak sistem pendidikan yang tidak ramah anak. Anak diajadikan obyek yang harus menyelesaikan tuntutan pribadi orangtua dan gurunya.Â
Sistem pendidikan yang tak ramah anak hanya akan menciptakan generasi-generasi robot penurut namun tanpa kecerdasan kreativitas dan kecerdasan moral. Kalau anak selalu menjadi obyek yang disalahkan,harus begini, harus begitu sama saja membuat anak hanya menjadi bebek-bebek penurut. Dan rasanya beginilah sistem pendidikan yang masih trend  saat ini, menciptakan bebek-bebek.
Masih banyak dari para pelaku pendidikan (orangtua, guru, dosen, tutor dll) Â yang hanya berfokus pada keinginannya sendiri tanpa menyadari bahwa setiap anak bertumbuh dengan istimewa, bukan seperti robot tanpa punya jiwa, yang setiap perilaku dan gaya belajarnya dikendalikan oleh remote yang ada digenggaman orangtuanya, gurunya ataupun dosennya.Bukankah tidak tepat bila dalam melakukan upaya didik mendidik, kita memaksa setiap anak menjadi seperti yang kita inginkan.Â
Setiap anak adalah pemilik dirinya dan kehidupannya sendiri. Bukan kita yang berhak menjadikan apa dan siapa dia , melainkan Dia Sang Pemilik Kehidupan. Kita hanyalah alat-Nya yang mana melalui kita anak akan dibentuk sesuai kehendak-Nya.Â
Dalam mendidik, ingatlah bahwa anak kita, siswa kita bukanlah milik kita. Jangan jadikan mereka "barang mainan" unutk memenuhi ambisi-ambisimu. Jangan mengerdilkan potensi dan kreatifitas mereka.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H