Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan secara akademik, melainkan juga  pendidikan yang membebaskan dan sekaligus mampu  memanusiakan manusia yang dididiknya.Â
Mencerdaskan karena bisa menjadikan siapapun cerdas secara menyeluruh, baik sikap, lisan ,tulisan, fisik dan akhlaknya.Â
Disebut membebaskan karena melalui pendidikan, seseorang  bisa lepas dari belenggu kebodohan, ketakutan dan belenggu ketertinggalan serta  ketidaktahuan dari dunia luar.Â
Disebut memanusiakan manusia karena lewat pendidikan derajat manusia bisa diangkat serta  dan juga yang paling penting adalah mampu melihat manusia sebagai subyek yang harus diperhatikan, bukan sebagai obyek yang bebas dieksploitasi
Pendidikan hendaknya membuat siapapun menjadi lebih bijasaksana dan berakhlak, namun sayangnya sampai pada era yang dikatakan era revolusi industri 4.o ini kita masih sering menjumpai praktik pendidikan yang memasung manusia-manusia muda.Â
Model pendidikan yang didominasi oleh pendidik yang hanya mengajarkan anak untuk mengiyakan apa yang diperintahkan guru ataupun orangtuanya masih sering kita jumpai disudut-sudut kelas di Indonesia.Â
JP Maryanto: Terpenjara Luka Lama begitu menarik tatkala mengistilahkan fenomena ini dengan sebutan pendidikan yang memerkosa, ia mengatakan bahwa masih banyak dijumpai praktik pendidikan yang "memerkosa" anak-anak untuk tumbuh menjadi manusia seperti yang orang tua atau gurunya inginkan yang mana jelas-jelas merugikan masa depan anak itu sendiri.
Penggambaran pak JP ini lantas mengingatkan saya dengan salah satu episode film ikonik dari Charlie Chaplin yang diproduksi tahun  1936 berjudul Factory Scene- Modern Times.Â
Di sana Sang Tokoh digambarkan menjadi seorang buruh pabrik yang ditugasi untuk mengencangkan mur di plat baja dengan alat yang dimilikinya. Conveyor belt yang berisi ratusan plat yang datang kepadanya begitu masif dan sangat cepat berjalan, sehingga Charlie kesulitan untuk mengikuti ritme dan kecepatan mesin tersebut, beberapa kali dia coba dan gagal. Mandor pabrik pun menegurnya beberapa kali untuk bisa beradaptasi dengan kecepatan mesin tersebut.Â
Charlie yang malang pun emosi sehingga ia memepercepat kerjanya hingga entah bagaimana carnya ia masuk ke dalam mesin tersebut. Voila! Laju mesin melambat sehingga Charlie bisa dengan "santai" mengerjakan pekerjaannya. Santai bukan dalam arti bermalas-malas, tetapi ia tetap produktif mengerjakan pekerjaannya dengan gaya yang dimilikinya.
Cerita tidak berakhir disini, produser masih menyisipkan pesan yang luar biasa, yakni bagaimana selepas jam kerja  nyatanya pola pikir pabrikan masih melekat pada Charlie.Â