Mohon tunggu...
Yosua T. Wiharjo
Yosua T. Wiharjo Mohon Tunggu... Lainnya - Belajar dan terus belajar

Penikmat seni dan kuliner yang menggunakan kompasiana sebagai tempat mencurahkan ide dan gagasan yang diharapkan memberi inspirasi dan insight kepada yang membacanya.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Ayah, Kita Berbeda

30 Januari 2024   11:23 Diperbarui: 30 Januari 2024   11:39 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Tubuh mungilnya masih memeluk ku erat. Isak tangisnya terdengar jelas di telinga ku.  "papi minta maaf ya..." bisikku. Mendengar bisik ku tangisnya pecah kembali, "aku juga minta maaf ya Pi, aku nakal."  Ku dekap erat tubuh mungilnya yang juga memelukku erat seolah mencari perlindungan dari ku. Lelah menangis dia pun tertidur dipelukku.  Wajahnya masih penuh air mata, matanya masih sembab karena terlalu banyak menangis. Tarikkan nafasnya belum teratur, masih tersisa isak tangis dari tarikan nafasnya. 

Apakah aku terlalu keras padanya? Gadis kecil ku masih tertidur sambil tangannya tetap melekat kuat dipundakku..."Fina...Papi sayang sama Fina..." entahlah...apakah dia mendengar didalam tidurnya, tetapi inilah hati ku...aku sayang padanya.  Setiap kali aku marah, memukulnya dan rasa itu kembali lagi menuduhku...aku gagal menjadi seorang ayah.

Semua seperti tayangan yang diputar kembali....membawa ku ke masa lalu. Ah...kenapa harus hal itu yang muncul? Sosok ayah....bukanlah bayangan menyenangkan untuk dikenang. Keras, tegas, galak dan tanpa kompromi. Penghakiman paling jahat dari ku untuknya adalah "ia yang paling bertanggung jawab untuk banyak hal yang pahit dan traumatis dalam hidupku." Kehadirannya bagi ku, antara ada dan tiada. Jujur, lebih baik bagi ku jika dia sungguh tidak ada. Mungkin terlalu banyak luka dan penolakkan sehingga ku rasa hati ku telah membeku dan mati untuk nya.

Berkesan dengan ayah? Aku telah lupa...aku benci karena ayah tidak pernah menjadi teman ku. Ia hanya bisa menjadi pribadi yang mengkerdilkan ku, menjadikan ku  semakin rendah...rendah dan rasanya ingin menghilang. 

Sayangkah pada ayah? Aku pun telah lupa bagaimana menyayanginya karena aku tak pernah belajar arti menyayangi darinya. Apa itu sayang, apa itu peluk hangat ayah? Aku tidak tau. Tatapan matanya  yang tajam seolah menguliti ku hidup-hidup, hanya dengan tatapannya saja mampu membuat ku lumpuh lunglai dalam rasa takut yang tak terperi.

Aku bersumpah dan berikrar...apapun namanya, jangan pengalaman ku berulang pada anakku. Nyatanya? Aku gagal... Ayah...ternyata kita belum selesai. Ayah sungguh sudah tidak ada tetapi ternyata kita belum selesai. Aku mau penggal kisah pedih nan trauma ini, tetapi ternyata aku masih mengulang nya. Ternyata aku pembelajar yang baik, menyerap semua yang ku terima dari mu. Tidak...kita berbeda Ayah. Ayah dingin dan aku lebih hangat dan ramah. Aku memeluk dan meminta maaf tetapi bagi ayah kata maaf terlalu mahal. Kita berbeda....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun