Ketiga, tidak ada kemauan politik untuk beralih ke piranti lunak sumber terbuka (open source software atau OSS). Sebenarnya pada 30 Juni 2004, ada lima kementerian yang mendeklarasikan gerakan Indonesia Go Open Source (IGOS), yaitu Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Kehakiman, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negera, dan Kementerian Pendidikan Nasional. Namun, gerakan itu terlihat lambat, jalan di tempat, bahkan bisa dikatakan mengalami kemunduran.
Tanpa mengecilkan usaha sejumlah kalangan dalam menyukseskan IGOS, gerakan itu sulit dilakukan karena di kalangan pelopornya sendiri melakukan khianat. Masih ada proyek teknologi informasi (TI) yang mengabaikan kemungkinan migrasi OSS. Konyolnya, proyek tersebut mengharuskan perusahaan pelaksananya menggunakan piranti lunak berbayar. Penggunaan OSS tidak diperbolehkan meskipun fungsinya tidak istimewa, seperti database server biasa. Ironisnya, kasus itu terjadi di Kominfo, kementerian yang dikenal paling gencar mempelopori IGOS.
Hal itu menyebabkan publik meragukan iktikad atau kemauan politik (political will) pemerintah untuk memutus ketergantungan pada piranti lunak berbayar. Untuk urusan konsistensi politik, Indonesia perlu mencontoh Brazil. Menurut Rahman (2010) Pemerintah Brazil tidak akan lagi memboroskan jutaan dolar hanya untuk membayar lisensi piranti lunak. Mereka menerapkan OSS untuk semua kantor pemerintah, bahkan setiap tahun ada penghargaan bagi kantor pemerintah yang berprestasi dalam menerapkan OSS. Akhirnya, penerapan OSS menjadi pilihan strategi tata layanan pemerintah, membangun pondasi ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pada 17 Agustus 2012, langkah maju ditunjukkan oleh para pegiat TI dan masyarakat perdesaan di Banyumas dengan meluncurkan sistem operasi komputer BlankOn Banyumas. BlankOn Banyumas dikembangkan dalam platform OSS sehingga dikerjakan secara gotong-royong, mulai dari praktisi IT, mahasiswa, siswa, pemerintah desa, dan warga desa. BlankOn Banyumas mempertimbangkan ragam piranti keras di Indonesia sangat beragam, dari spesifikasi tinggi hingga rendah (biasa disebut: jangkrik). Sistem operasi komputer ini juga menggunakan dukungan antarmuka pengguna (user interface) bahasa Banyumas.
Kemunculan BlankOn Banyumas seharusnya menjadi tonggak kebangkitan TI di Banyumas. BlankOn Banyumas menjadi pelopor lokalisasi teknologi komputer dengan citarasa lokal melalui bahasa dan grafis pada desain antarmuka (interface) komputer.
Sistem operasi ini telah diterapkan di 23 desa anggota Gerakan Desa Membangun (GDM) di Kabupaten Banyumas. Ada dua desa, Desa Melung (Kedungbanteng) dan Desa Dermaji (Lumbir), yang menyatakan diri sebagai meja bantuan (helpdesk) bagi desa lain yang akan menggunakan BlankOn Banyumas.
Situasi itu menyadarkan publik bahwa kemandirian teknologi bukan hal yang mustahil. Bila desa dengan sumber daya terbatas mampu menerapkan OSS, seharusnya pemerintah supradesa (kecamatan, dinas, kabupaten) bisa lebih cepat menyerap inisiatif ini menjadi Banyumas Goes Open Source.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H