Tapi realitas, dia beda cerita. Dia itu seperti minyak jelantah. Lengket, bau, penuh ampas. Bukan malah tidak berguna, tapi membuat kita susah bernapas. Realitas adalah saat ibu-ibu menawar gorengan sampai harga modal, tapi pulangnya naik mobil bagus. Realitas adalah saat aku diusir dari trotoar oleh mereka yang pakai dasi, padahal mereka sendiri nggak tahu rasanya makan nasi tanpa lauk karena duit habis buat bayar sewa.
(Ada jeda. Kang Juhi menghela napas, menyesap teh, matanya menatap ke langit-langit yang kusam).
Kadang aku berpikir, Baskom, kenapa aku tidak lari saja? Balik ke kampung. Tapi di sana aku cuma bakal jadi buruh tani, kerja di ladang orang yang juga tidak pernah cukup untuk makan sendiri. Apalagi keluarga. Di sini, aku punya gerobak. Atau, ya, aku dulu punya gerobak. Sekarang cuma sisa tapak rodanya di jalan. Tapi paling tidak, di sini aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri, walaupun cuma buat nyari tepung sama minyak murah.
Apa aku bodoh, Baskom? Menggantung harapan setinggi itu di dunia yang nyata-nyata tidak peduli sama orang kecil macam aku? Tapi, gimana lagi? Kalau aku berhenti berharap, aku cuma jadi tempe kedaluwarsa. Ada, tapi tidak ada gunanya.
(Ada keheningan lagi. Kali ini lebih lama. Kang Juhi menatap cangkir tehnya, seolah mencari jawaban di dalamnya).
Aku tahu, hidup ini tidak adil. Tapi kalau aku tidak adil ke diriku sendiri, kalau aku berhenti mencoba, berhenti berharap, apa yang tersisa dari aku? Cuma nama, Kang Juhi, pedagang gorengan, yang bakal dilupakan lebih cepat dari orang lupa rasa gorengan yang dimakan buru-buru.
Jadi, Baskom, selama aku masih bisa menyalakan kompor besok pagi, selama aku masih punya tangan untuk mengaduk adonan, aku bakal terus membuat harapan itu. Biarkan saja realitas jadi minyak panasnya. Sementara aku bakal terus mencoba memberi rasa pada dunia ini, meskipun cuma dari bakwan goreng.
(Akhirnya, Kang Juhi tersenyum kecil. Matanya berat, tapi dalam senyumnya ada keteguhan yang sederhana. Ia bangkit, mematikan lampu, dan membiarkan malam menelan dirinya).
Esok hari, gorengan baru, harapan baru. Dan realitas? Ah, biar saja dia datang belakangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI