Kang Juhi, pedagang gorengan. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran Jakarta. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan.
Namanya juga dongeng.
*
Ngobrol dengan BaskomÂ
Yoss Prabu
Di malam yang gerah itu, Kang Juhi duduk bersila di lantai kontrakannya. Baskom besar di depannya masih menyisakan sedikit adonan gorengan. Namun, di mata Kang Juhi yang lelah, baskom itu bukan lagi sekadar benda mati. Baskom itu, entah bagaimana, selalu menjadi teman diskusinya yang paling setia.
"Eh, Baskom," Kang Juhi memulai, suaranya lirih tetapi penuh keyakinan, "kalau dipikir-pikir, ya, hidup ini lucu. Kita ini kayak gorengan, tahu nggak? Cuma adonan tepung, dikasih bentuk, terus digoreng di minyak panas. Tapi setelah itu? Apa bedanya kita dengan gorengan lain di gerobak? Nggak ada, kan?"
Ia berhenti sejenak, menatap pantulan wajahnya di permukaan baskom yang sedikit berminyak. Mata lelah itu seperti menunggu respons. Dan di saat-saat seperti ini, dalam imajinasinya yang liar, baskom itu menjawab.
"Memang begitu, Juhi," suara baskom terdengar dalam benaknya, berat dan penuh wibawa, "tapi kau lupa, gorengan yang berbeda bentuknya tetap bisa membawa kebahagiaan yang berbeda pula. Tempe bikin kenyang. Tahu isi bikin puas. Bakwan bikin orang rebutan. Itu bedanya."
Kang Juhi tertawa kecil, tetapi ada kepahitan di sana. "Ah, tapi kebahagiaan itu cuma sebentar, Baskom. Habis dimakan ya, selesai. Dilupakan. Aku ini sama aja, kan? Setelah gorengan habis, siapa juga yang peduli aku ini siapa?"
Baskom terdiam, atau mungkin berpura-pura bijak. Namun, dalam khayalan Kang Juhi, benda itu menjawab dengan tegas, "Tidak semua orang harus diingat, Juhi. Kadang tugasmu cuma jadi bagian kecil dari cerita orang lain. Dan itu cukup. Seperti aku, baskom tua yang cuma dipakai buat bikin adonan. Aku tidak mengeluh kok."