Mohon tunggu...
Yoss Prabu
Yoss Prabu Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Bukan siapa-siapa. Hanya seseorang yang hobby menulis tapi tak pernah dipublikasikan. Aktivis teater, tapi jarang-jarang kumpul dengan insan teater. Agak aneh, memang. Ya, begitu. Biarkan saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perjuangan Guru Honorer Supriyani

26 November 2024   14:32 Diperbarui: 26 November 2024   14:38 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perjuangan Guru Honorer Supriyani

Di balik kemajuan pendidikan Indonesia, terdapat banyak kisah inspiratif dari sosok-sosok yang dikenal sebagai guru. Pahlawan tanpa tanda jasa. Demikan banyak orang menyebutnya. Para guru yang mendedikasikan hidupnya untuk mencerdaskan anak bangsa tanpa mengharapkan pengakuan besar. Seperti yang mencuat dan menjadi inspiratif belakangan ini. Adalah Supriyani, seorang guru sederhana dari daerah terpencil, di Baito, Konawe Selatan -- Sulawesi Tenggara.

Supriyani, dikenal di oleh masyarakatnya sebagai sosok yang penuh kasih dan tak kenal lelah dalam mendidik. Walau tidak memiliki fasilitas memadai dan pengakuan yang selayaknya, Supriyani tetap mengabdikan dirinya dengan sepenuh hati untuk memastikan anak-anak di pelosok daerah mendapatkan pendidikan. Baginya, menjadi guru bukanlah sekadar profesi, melainkan panggilan hati untuk mengubah kehidupan banyak anak-anak. Bahkan, ia tak segan-segan menempuh perjalanan panjang dari rumahnya ke sekolah yang berlokasi jauh dan sulit dijangkau.

Supriyani lahir di sebuah desa kecil yang jauh dari kota. Kehidupan yang sulit di masa kecilnya membentuk semangatnya untuk memperbaiki nasib generasi muda di daerahnya. Saat Supriyani beranjak dewasa, ia memutuskan untuk menjadi guru karena sadar betapa pentingnya pendidikan bagi kemajuan anak-anak di desanya. Tanpa dukungan penuh dari pemerintah atau fasilitas yang memadai, Supriyani menggunakan metode kreatif dan sederhana untuk mengajar. Misalnya, ia sering kali harus menggunakan barang-barang yang ada di alam sekitar sebagai alat bantu belajar.

Meski mengalami berbagai keterbatasan, Supriyani tidak pernah menyerah. Setiap hari, ia berjalan kaki melewati medan yang berat, melalui hutan dan sungai untuk tiba di sekolah tempatnya mengajar. Ia menghadapi cuaca yang tak menentu, kadang hujan lebat dan jalan berlumpur, tetapi semua itu tidak mengurangi semangatnya. Baginya, senyum dan semangat belajar anak-anak adalah sumber kekuatan yang mendorongnya untuk terus berjuang.

Menjadi guru di daerah terpencil memiliki tantangan yang tidak sedikit. Selain harus mengajar dengan fasilitas seadanya, Supriyani juga sering kali harus merangkap sebagai pendidik sekaligus sosok orang tua bagi murid-muridnya yang kebanyakan berasal dari keluarga kurang mampu. Supriyani selalu berusaha memberikan dorongan moral kepada anak-anak tersebut agar mereka tidak merasa terpinggirkan dan terus termotivasi untuk belajar.

Terkadang, Supriyani harus mengeluarkan uang pribadinya untuk memenuhi kebutuhan sekolah, seperti membeli kapur tulis, buku, atau bahkan menyediakan makan siang bagi anak-anak yang tidak mampu membawa bekal dari rumah. Ia tidak pernah mengeluh, karena ia meyakini bahwa setiap pengorbanannya akan berdampak besar bagi masa depan murid-muridnya. Supriyani menjadi teladan bagi guru-guru lain di daerahnya yang mungkin belum memiliki keinginan yang sama besar dalam mengabdi.

Apa yang dilakukan oleh Supriyani mencerminkan nilai-nilai pahlawan tanpa tanda jasa. Di tengah kondisi yang serba kekurangan, ia tetap memegang teguh prinsipnya untuk memberikan yang terbaik bagi anak didiknya. Tanpa pujian dan penghargaan yang seringkali diberikan kepada profesi lainnya, Supriyani tetap berdiri kokoh sebagai pengajar yang penuh dedikasi.

Kasus Supriyani membuka mata banyak pihak tentang pentingnya memberikan perhatian lebih kepada para guru di daerah terpencil. Mereka bukan hanya sekadar pengajar, tetapi juga pejuang yang memperjuangkan masa depan anak-anak bangsa. Kisah Supriyani adalah pengingat bahwa pahlawan tidak selalu terlihat mencolok di mata publik. Mereka hadir dalam sosok sederhana, seperti guru-guru yang setiap hari berjuang dalam kesunyian dan kesederhanaan.

Bagi Supriyani, penghargaan sejati adalah ketika melihat murid-muridnya tumbuh menjadi orang yang berpendidikan dan berhasil di masa depan. Inilah yang menjadikannya sebagai sosok pahlawan sejati -- bukan karena penghargaan, tetapi karena pengabdian tulus yang ia lakukan tanpa pamrih.

Kasus Supriyani seharusnya menginspirasi kita untuk lebih menghargai jasa para guru, terutama mereka yang berada di pelosok negeri. Mereka yang menghadapi keterbatasan sarana, lokasi yang sulit dijangkau, dan kurangnya apresiasi. Kisah Supriyani adalah bukti bahwa pendidikan yang berkualitas bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga dapat terwujud melalui dedikasi dan kerja keras individu.

Sebagai masyarakat, kita bisa berperan aktif dengan memberikan dukungan dan apresiasi kepada para guru di pelosok. Dalam skala yang lebih luas, ini juga bisa menjadi dorongan bagi pemerintah untuk lebih memerhatikan kesejahteraan para guru, terutama mereka yang mengabdi di daerah-daerah terpencil. Karena sejatinya, pendidikan adalah kunci dari kemajuan bangsa, dan para guru seperti Supriyani adalah fondasi yang menopangnya.

Supriyani adalah pahlawan sejati, pahlawan tanpa tanda jasa yang layak dihormati atas pengabdiannya dalam membangun masa depan anak-anak bangsa.

Sebagai guru honorer, Supriyani tidak mendapatkan fasilitas atau jaminan yang memadai. Ia menghadapi ketidakpastian masa depan karena kontrak yang tidak pasti serta penghasilan yang sangat terbatas. Dalam kondisi ini, banyak guru honorer yang merasa terabaikan. Mereka tidak hanya berjuang untuk kesejahteraan diri mereka sendiri, tetapi juga untuk kemajuan pendidikan anak-anak yang mereka ajar.

Namun, meskipun ada keterbatasan dari segi finansial dan dukungan, Supriyani tetap gigih dalam tugasnya. Kisahnya menjadi pengingat bagi kita bahwa ada banyak guru honorer di pelosok negeri yang menjalani kehidupan serupa -- bekerja tanpa pengakuan yang layak dan sering kali luput dari perhatian masyarakat. Meski demikian, dedikasi dan komitmen mereka tetap teguh.

Kisah Supriyani adalah representasi dari seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Ia tidak membutuhkan penghargaan besar atau popularitas, namun terus melakukan pengorbanan demi pendidikan. Para guru honorer seperti Supriyani menjadi simbol perjuangan yang sesungguhnya dalam dunia pendidikan, sosok-sosok sederhana yang bekerja di balik layar namun memiliki peran penting dalam mencerdaskan generasi penerus bangsa.

Dalam situasi seperti ini, peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk lebih menghargai dan mendukung para guru honorer. Pemerintah juga diharapkan dapat memberikan perhatian lebih bagi kesejahteraan mereka, terutama yang bertugas di daerah terpencil dan minim fasilitas. Tanpa dedikasi mereka, banyak anak-anak Indonesia di pelosok yang mungkin tidak akan merasakan bangku pendidikan.

Bagi Supriyani, keberhasilan sejati adalah ketika ia melihat anak-anak didiknya berhasil dan dapat meraih mimpi mereka di masa depan. Di tengah segala keterbatasan yang ia alami, pengabdian tulusnya menjadikannya sebagai sosok pahlawan yang sejati, pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya.

Kini guru honorer itu, tersandung akibat tindakannya dalam mendisiplinkan murid. Yang kemudian berujung pada laporan dari pihak keluarga siswa. Seperti banyak guru honorer di Indonesia, Supriyani mengajar di sebuah sekolah dengan keterbatasan fasilitas dan kondisi yang tidak selalu ideal. Dalam upayanya untuk mendisiplinkan murid yang dianggapnya melanggar aturan atau kurang menunjukkan sikap hormat, Supriyani diduga memberikan tindakan yang akhirnya dianggap oleh sebagian pihak sebagai bentuk kekerasan.

Tindakan yang dilakukan Supriyani adalah bagian dari niatnya untuk memberikan pengajaran yang tegas, dengan harapan para muridnya bisa menghargai proses belajar dan berperilaku baik. Namun, metode pendisiplinan yang diterapkan ini dipersepsikan secara berbeda oleh orang tua murid, yang menganggapnya sebagai tindakan yang berlebihan. Hal ini kemudian dilaporkan ke pihak berwajib, sehingga Supriyani harus berhadapan dengan proses hukum.

Kasus seperti yang dialami Supriyani menjadi sorotan publik dan membuka perdebatan mengenai batasan dalam mendisiplinkan murid serta posisi rentan para guru honorer di Indonesia. Para guru honorer seperti Supriyani sering kali tidak memiliki pelatihan khusus dalam pengelolaan perilaku siswa dan terbatasnya dukungan dalam menangani murid yang sulit di lingkungan sekolah yang penuh tantangan.

Banyak pihak menyayangkan situasi ini, terutama karena Supriyani dikenal sebagai guru yang berdedikasi tinggi. Kasusnya mencerminkan dilema yang dihadapi oleh banyak guru di Indonesia dalam mendisiplinkan siswa, terutama di daerah yang memiliki keterbatasan sumber daya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun