Mohon tunggu...
Yossie Fadlila Susanti
Yossie Fadlila Susanti Mohon Tunggu... Guru - Pendidik PAUD

Travelling susur tempat bersejarah seperti candi-candi peninggalan nenek moyang, bangunan kuno, dan mengulik sejarahnya adalah hal yang sangat saya sukai disamping profesi sebagai pendidik anak usia dini.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Pesona Wisata Dusun Sumurup, Desa Asinan Bawen

27 Juni 2023   20:57 Diperbarui: 27 Juni 2023   21:45 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Dokumen Pribadi


Pesona Wisata Dusun Sumurup, Desa Asinan Bawen

Oleh : Yossie Fadlila Susanti

            Setelah sekian waktu tenggelam dalam beberapa kesibukan akhir tahun sebagai seorang guru Paud di Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, akhirnya pagi itu saya bersama suami menyempatkan diri untuk sekedar jalan-santai melepas penat sambil menikmati segarnya udara pagi nan murah meriah di sekitar tempat kami tinggal. Selain murah meriah, tanpa memerlukan beaya atau tiket masuk, tentunya yang kami dapatkan salah satunya adalah sehat, baik jiwa maupun raga. Sehat jiwa dengan bersyukur, tadhabur alam, dengan apa yang telah Tuhan berikan kepada kita, berupa indahnya pemandangan dan udara yang segar. Sehat raga dengan berjalan kaki  melakukan sedikit streching untuk meregangkan otot tubuh yang kaku setelah seharian beraktifitas.

             Salah satu tujuan favorit kami  adalah Dusun Sumurup, Desa Asinan, yang berada di tepi Rawa Pening. Dusun Sumurup  terletak  di wilayah Kecamatan Bawen, yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Tuntang  dan Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang.   Sebagian besar masyarakatnya memanfaatkan Rawa Pening untuk kehidupan sehari-hari. Mulai dari nelayan, petani, pengelola wisata air, pemanfaatan enceng gondok, bahkan pengelola tempat pemancingan dan rumah makan yang terletak di atas Rawa Pening.

            Di antara tepian rawa, ada sebuah rel kereta api peninggalan masa kolonial Belanda yang masih terawat hingga kini. Tak jauh dari Dusun Sumurup,  ada sebuah stasiun kereta api yang cukup terkenal bahkan sampai mancanegara, yaitu Museum Kereta Api Indonesia, yang dulu bernama Stasiun Willem I, dibangun oleh Nedherlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) pada tahun 1873. Kini, stasiun kereta api tersebut dikelola mejadi Museum Kereta Api Ambarawa. Kereta yang ada di Museum tersebut masih sangat terawat dengan baik.Tak jarang turis dari mancanegara, terutama dari Belanda berkunjung untuk mengenang keluarga mereka yang konon pernah tinggal di kota Ambarawa dengan naik kereta sambil menikmati indahnya pemandangan di sepanjang jalur yang dilalui kereta.  

            Selain dikenal sebagai Kota Palagan, Ambarawa juga mempunyai peninggalan masa kolonial lain seperti Benteng Willem I yang juga terletak tak jauh dari Museum Kereta Api Ambarawa. Sekarang, sebagian bangunan benteng Willem I yang masih bagus, difungsikan sebagai Lapas atau tempat para tahanan pelaku kejahatan. Sebagian bangunan  sudah mulai rusak, namun kesan kokoh, sangar, dan mistis tetap melingkupi kawasan benteng itu. Dulu, ketika jaman maraknya acara-acara TV yang berbau mistis sering menggunakan benteng tersebut sebagai ajang konten TV untuk menarik pemirsa!

            Nah, dari sepintas cerita di atas, sudah terbayang menariknya Dusun Sumurup sebagai salah satu destinasi wisata daerah yang patut dibanggakan dan harus dikembangkan bukan?   Namun, kali ini fokus cerita kami adalah mengenai pesona sebuah dusun yang bernama Dusun Sumurup. Tentang museum Kereta Api Ambarawa, tentu juga sangat menarik, tak lepas dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia dan sejarah per-kereta apian Indonesia. Mungkin lain waktu akan saya bagikan pengalaman saya saat mendampingi anak-anak didik saya saat berkunjung di Museum Kereta Api tersebut.     

            Sengaja saya dan suami,  berangkat dari rumah sekira pukul 6 pagi. Selain untuk mendapatkan udara yang masih bersih, juga terhindar dari sinar matahari yang cukup panas menyengat di siang hari. Kami mengenakan setelan olahraga dan sepatu kets, untuk kenyamanan kami saat berjalan menyusuri rel kereta api nanti. Dikarenakan, di sepanjang jalur rel rel, terdapat bebatuan kerikil yang cukup tajam di kanan dan kiri rel. Mungkin kerikil-kerikil itu untuk memperkuat struktur tanah agar tak mudah terkikis oleh air juga bermanfaat agar  Hal ini untuk menjaga keamanan jalur rel kereta api, agar tetap kokoh saat dilewati oleh kereta api, yang biasanya melintas di akhir pekan, untuk melayani wisatawan yang ingin menaiki kereta api dari Museum kereta api Ambarawa, menuju ke stasiun Tuntang.

            Perjalanan dari rumah menuju ke Dusun Sumurup hanya memakan waktu sekitar 10 menit. Jalanan masih cukup lengang. Dengan motor Mio tua, kami sengaja melajukan motor dengan pelan, sambil menikmati udara pagi dan indahnya pemandangan sawah di sisi kanan jalan.  Sejuknya udara, menerpa wajah kami dengan lembut nan segar.

            Hari masih pagi, ketika kami sampai di parkiran yang sengaja disiapkan oleh masyarakat bagi para pengunjung. Saat itu pengunjung yang sebagian besar adalah para pemancing belum begitu banyak. Hanya ada beberapa motor dan mobil terparkir di kawasan tersebut. Biasanya, sebelum mulai perjalanan menyusuri tepian rawa dan rel kereta api, kami selalu menyempatkan diri mampir ke sebuah warung pecel sederhana, membeli bekal makanan untuk kami santap sambil beristirahat di atas rel.

            "Bu, pecelnya 2 bungkus, mendoan dan tahu isinya 5, dan dua bungkus teh panas nggih," pintaku kepada Ibu pemilik warung yang sudah hafal dengan kami. Menu gablok  pecel dengan sayuran genjer dan beberapa gorengan, cukup murah, meriah dan  mengenyangkan untuk sarapan pagi, bagi saya dan suami. Ternyata, kami harus menunggu antrian dilayani Ibu pemilik warung pecel yang cukup ramai saat itu, karena sebagian para pemancing juga membeli bekal makanan untuk mereka santap sambil memancing nanti.      

            Dusun Sumurup,  merupakan salah satu surga bagi mereka yang hobi memancing. Para pemancing tidak hanya datang dari sekitar Ambarawa saja, namun dari berbagai wilayah bahkan dari kota  Salatiga, Semarang, Magelang, Kendal, bahkan Jogjakarta! Hanya untuk sekedar menyalurkan kegemaran dan menikmati hobi mereka memancing. Ada yang datang sendiri, pernah  juga ada yang datang berombongan sampai  3 mobil penuh bersama keluarga. Selain memancing, mungkin mereka memanfaatkan waktu untuk piknik bersama keluarga.

Sumber Ilustrasi: Dokumen Pribadi
Sumber Ilustrasi: Dokumen Pribadi

            Karena sering berjalan-jalan di situ, saya dan suami jadi tahu tentang  perlengkapan memancing mereka. Tak jarang kami mengobrol dengan mereka sambil duduk di tepi rawa, sambil menunggu umpan mereka dimakan oleh ikan.  Mulai dari pakaian khusus lengkap dengan topi sebagai penahan panas, kacamata gelap khusus untuk memancing, joran atau alat pancing, lumut, cacing dan udang kecil sebagai umpan, ember tempat wadah ikan hasil pancingan dan tak lupa bekal makan dan minum yang sudah mereka siapkan sebelumnya.

            "Saking pundi Mas?" tanya suamiku kepada seseorang yang sedang asyik menunggui umpannya disambar ikan.

            "Magelang Pak," jawabnya sopan.

            "Saking griyo jam pinten wau?" lanjut suamiku penasaran.

            "Bibar subuh wau, Pak,"

            "Oh, piyambakan?"

            "Enggih, Pak, namung kangge refreshing kemawon, sak sampunipun nyambut damel wonten pabrik, Pak," lanjut mas-mas yang usianya sekira 23-25 tahun.

            Sebuah percakapan sederhana yang sering dilontarkan suamiku, saat bertemu dengan para pemancing yang bertemu dengan kami, saat kami berjalan menyusuri rel kereta api di tepian rawa.

            Pernah suatu ketika, kami bertemu dengan pemancing yang berhasil mendapatkan seekor ikan gabus yang berukuran cukup besar, sebesar lengan orang dewasa.

            "Wah, besar banget Mas, kira-kira berapa kilo kalau ditimbang?" tanya suamiku.

            "Mungkin kurang lebih 1 kilogram, Pak,"

            "Dijual atau untuk konsumsi sendiri?" tanya suamiku bak seorang wartawan. Hehehe..

            "Kalau dapatnya banyak, sebagian dijual, sebagian lagi untuk konsumsi sendiri,"   

            "Nyampe berapa harga sekilonya Mas?" tanyaku

            "Ikan gabus bisa sampai lima puluh ribuan Buk,"

            "Waaahh, lumayan ya,"

            Suatu saat, kami bertemu dengan pemancing, tapi alat mereka cukup unik, seperti senapan laras panjang, beurujung sebuah besi yang diikat dengan sebuah tali panjang. Ya, mereka mencari ikan dengan cara menembak. Ada yang cukup menembak dari tepian rawa, ada juga yang sampai menyewa  perahu kecil  menuju ke tengah rawa dan kemudian naik di sebuah tonggak kayu. Dari atas tonggak kayu itulah mereka mengincar ikan dengan cara menembakkan senjata laras panjangnya. Wow, tidak mudah melihat sasaran di dalam air. Tapi mereka banyak yang berhasil loh. Perlu kesabaran, ketelatenan dan ke hati-hatian saat membidik sasaran dari atas tonggak kayu tempat mereka berdiri. Itulah tantangan mereka selain harus bertahan dari hawa panas  uap air yang terkena sinar matahari di tengah rawa.

             Terlihat wajah sumringah mereka saat berhasil pulang dengan seember penuh ikan! Sebuah wisata sederhana, namun cukup untuk menghilangkan kejenuhan rutinitas harian, terutama bagi mereka yang hobi memancing.

            Sambil meneruskan langkah kami menyusuri tepian rawa. Kami bertemu dengan seorang bapak yang sibuk menggiring ratusan bebek menuju ke bekas sawah yang baru saja selesai dipanen. Saat sampai, dibiarkannya bebek-bebeknya sibuk mencari makan sambil mengeluarkan suaranya yang sangat ramai. Kwek, kwek, kwek kwek..

            Sambil duduk di atas rel dan mengawasi bebek-bebek itu, kami sempatkan untuk mengobrol dengan beliau. Semula kami mengira usia bapak tersebut sekitar 50 tahunan. Ternyata kami salah, beliau sudah berusia 76 tahun! Dan beliau masih tampak gagah, sehat dan bugar.  Wah, kami salut! Menurut beliau, rahasia awet muda dan sehatnya adalah hidup sederhana, dan selalu bersyukur atas semua pemberian dari Gusti Allah. Dua anak laki-laki  beliau sudah sukses dan hidup di kota Jakarta. Salah satunya bahkan menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi terkenal di Jakarta. Satu lagi menjadi seorang petinggi TNI. Dan yang membuat kami salut adalah, beliau tetap hidup sederhana di desa bersama istri yang menemaninya hingga kini dengan kesibukan "angon bebek".

            "Kalau cuma diam di rumah, badan saya terasa sakit semua Mbak, dari kecil saya sudah terbiasa bekerja keras membantu almarhum bapak saya di sini, makanya saya lebih memilih tinggal di sini dari pada ikut anak-anak di kota, supaya saya ada kegiatan di masa tua saya," ujarnya dengan ramah kepada kami.  

            Masyaallah! Beliau penduduk asli dusun Sumurup yang dari sejak lahir hingga sekarang masih tetap bertempat tinggal di dusun itu. Dari Bapak itu, kami mendapat banyak cerita sejarah, tentang keberadaan rawa pening termasuk di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Rasanya kami tak mau beranjak pergi, karena asyik mendengarkan cerita beliau yang sangat ramah dan "nyedulur."

            " Monggo Mas, mampir ke gubug saya, itu ndak jauh kok dari sini" pinta beliau sambil menujuk sebuah rumah sederhana, setelah kami pamit untuk meneruskan langkah kami menyusuri tepian rawa.

            "Nggih, Pak, Inshaallah lain waktu kami mampir, " jawabku dengan sopan sambil menyalami bapak yang akhirnya kami tahu bernama Pak Wongso.    

            Pengalaman lain kami, selain bertemu dengan pemancing, juga bertemu dengan para nelayan yang menaiki perahu kecilnya mendayung sambil sesekali berhenti di suatu tempat yang sudah ditandai, untuk menarik keramba yang berbentuk persegi panjang berukuran sekitar 30 cm x 50 cm. Keramba ini terbuat dari kawat, yang diikat dengan sebuah tali dengan tujuan agar keramba tersebut tidak terbawa arus setelah di letakkan semalaman di air rawa.

            "Angsal nopo Pak?" tanyaku penasaran.

            "Lobster Buk,"

            "Hah, ternyata ada lobster di rawa ini?"

            "Nggih Buk,"

            "Saya pikir, lobster hanya ada di lautan saja, ternyata di rawa juga ada ya Pah," ucapku lirih kepada suamiku.

            Saat itu, kebetulan kami berada di sebuah jembatan yang terkenal dengan sebutan Jembatan Biru". Mungkin karena warna cat-nya, orang menyembutnya dengan nama Jembatan Biru. Di area ini, ada persewaan perahu bagi pengunjung yang ingin menyusuri indahnya rawa pening dengan berperahu. Perlengkapan keselamatannya-pun cukup memadai bagi setiap penumpang. Suguhan pemandangan cantik dan pengalaman tak terlupakan, ditawarkan bagi pengunjung yang berani menyusuri luasnya rawa pening dari jembatan biru sampai ke Bukit Cinta, Ambarawa  dengan berperahu. Beayanya  relatif cukup murah, sekitar 100- 150 ribu per perahu.

            Di sini pengunjungnya lebih didominasi oleh pasangan muda-mudi atau sekelompok anak muda yang asyik mengambil foto. Tak jarang kami bertemu dengan pengunjung yang membawa peralatan kamera lengkap bak seorang fotografer profesional. Memang, pemandangan dari Jembatan Biru sangat menakjubkan. Apalagi pemandangan saat senja tiba. Masyaallah, luar biasa indahnya! Semburat warna jingga dipadu kerlipan air rawa yang bersinar cantik karena pantulan cahaya mentari yang sebentar lagi pulang ke peraduannya. Deretan pegunungan indah, antara Gunung Merbabu, Gunung Andong, dan Gunung Gajah Mungkur  yang mengelilingi rawa, kian menambah  anggunnya sang senja.

            Saat kami sampai di Jembatan biru, kami menyadari, bahwa air di Rawa Pening saat itu surut. Lalu kami melihat di bawah jembatan, ada bentangan sawah yang nyaris menutupi separuh rawa di sisi kiri jembatan.

            "Wah, kok ada sawah ya  disini sekarang? Padahal beberapa minggu yang lalu saat terakhir kami berkunjung, belum ada," gumamku keheranan melihat hijau dan suburnya sawah di area rawa.

            "Mas, ini sawahnya warga sini nggih?" tanyaku kepada anak muda sekira umur 24 tahun yang ternyata adalah satpam yang menjaga di kantor Pengelola Demaga Sumurup  yang mengelola Rawa Pening, termasuk menjaga dan membersihkan  tumbuh liarnya enceng gondok agar tak mudah terjadi sedimentasi di rawa pening.

Sumber Ilustrasi: Dokumen Pribadi
Sumber Ilustrasi: Dokumen Pribadi

            "Saat ini, Demak butuh air untuk mengairi sawah mereka di sana Buk, jadi pintu air yang ada di Tuntang dibuka agar airnya mengalir sampai ke Demak," kata Mas Satpam itu menjelaskan.

            "Oh, makanya airnya susut banyak ya Mas?" lanjutku bertanya.

            "Iya Buk, sekitar 2 meter surutnya, ditambah lagi musim kemarau sudah mulai datang. Banyak tanaman enceng gondok yang kering dan mati."

            Nah, selain dari mencari ikan, masyarakat juga memanfaatkan keberadaan enceng gondok yang tumbuh subur di area rawa. Mereka acap kali menjemur batang-batang eceng gondok di tepian rel hingga kering. Setelah itu, mereka akan menjualnya melalui pengepul untuk kemudian dikirim lagi ke industri rumahan yang memproduksi  berbagai kerajinan, seperti tas, sepatu, sandal, kursi, meja, vas bunga, almari, sketsel, dan berbagai komoditi menarik lainnya.

            Pencaharian lain dari masyarakat Dusun Sumurup? Hmm, ternyata masih cukup banyak. Rawa Pening benar-benar menjadi tempat bergantung sebagian besar masyarakat di Dusun Sumurup untuk mendapatkan penghasilan.

            Di Dusun Sumurup, banyak sekali warung makan apung yang menyediakan berbagai menu  khas berbahan dasar ikan. Sungguh nikmat, menyantap ikan mujahir bakar lengkap dengan lalapan, sambal dan oseng genjer, khas Rawa Pening sembari memandang luasnya rawa pening dan lalu lalangnya nelayan mendayung perahu kecil mereka sambil sesekali menebarkan jaringnya. Acap kali saya dan beberapa rekan guru Paud, berkunjung ke salah satu warung apung untuk sekedar makan bersama sambil refreshing. Harganya cukup murah dan terjangkau, rasa masakannya-pun standar, tak kalah dengan rumah makan besar di kota.

            Tuuutt....tuuuttt... tuuutttt.....Tuiitttt... jess .. jesssss... jessss....

            Tetiba terdengar suara kereta api samar-samar dari kejauhan. Sontak aku berdiri dan berjalan minggir dari jalur kereta.  Sebuah kereta api uap lewat dengan membawa 3 gerbong berisi turis mancanegara. Kesempatan ini saya manfaatkan untuk mengambil beberapa foto dan video saat kereta  ini melintas di depan saya.  Menurut penduduk sekitar, kereta api bertenaga uap hanya lewat hanya pada hari Sabtu dan Minggu saja untuk melayani wisatawan yang berkunjung di Museum Kereta Ambarawa.  Menurut informasi yang pernah saya dapatkan saat berkunjung ke Museum, beaya per gerbong antara 7-8 juta dengan isi penumpang sekitar 20-30 orang. Cukup mahal memang, karena bahan bakar yang digunakan adalah kayu gelondongan dan tidak sembarang kayu bisa dipakai untuk bahan bakarnya.

            "Paling bagus memakai kayu jati Bu, karena selain awet dan tidak cepat menjadi abu, juga temperatur panasnya lebih tinggi untuk menghasilkan uap panas sebagai penggerak kereta api kami." jawab salah satu penjaga di Museum Kereta Api saat saya menanyakan alasan pemakain kayu jati sebagai bahan bakarnya.

            Bayangkan, sebuah kereta kuno yang eksotis, melintas di antara rawa dan hamparan tanaman padi yang subur dan menghijau, diikuti dengan suara khas kereta dan nyaringnya bunyi peluitnya. Menakjubkan! Ada rasa haru, trenyuh dan merinding saat menyaksikan secara langsung kereta itu lewat di hadapan saya. Entah mengapa.  

             Tak terasa, waktu terus berjalan. Saat menoleh ke jam tangan yang kukenakan, aku sedikit terperangah.

            "Pah, sudah jam sembilan lebih sepuluh menit loh. Ayo kita pulang, sudah mulai panas nih, " ujarku kepada suamiku sambil menggamit tangannya.

            Hari itu, cukup banyak ilmu kehidupan yang berhasil aku peroleh dari orang-orang yang kami temui. Pelajaran hidup yang sangat berharga untuk kami ambil hikmahnya.                                                                                                                                                                                                  Akhirnya, kami berjalan kembali menuju parkiran untuk mengambil motor dan pulang kembali untuk melanjutkan aktifitas kami. Wah, ternyata parkiran yang semula  hanya diisi oleh beberapa motor dan mobil, kini sudah penuh sesak. Dusun Sumurup memang mempunyai pesona tersendiri di hati masyarakat terutama orang-orang yang hobi memancing. Alhamdulillah, puji syukur selalu tak lupa kami panjatkan atas segala karuniaNya kepada kita.

Nama asli tokoh dalam cerita di atas, disamarkan.

Dusun Sumurup, kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang

Sabtu, 24 Juni 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun