"Ibu ndak usah khawatir, mengenai beaya Pak Kyai Rustam sudah mempunyai solusi. Alhamdulillah kemarin Kakak diundang Pak Kyai untuk membicarakan beasiswaku selama mondok, Bu," kata Ardan pelan.
      "Ada seorang  donatur dari Semarang yang ingin menginfakkan sedikit hartanya untuk beasiswaku di pondok, Bu," lanjut Ardan. Suaranya sedikit tertahan. Ia tahu ibunya akan sendiri jika ia mondok. Tapi ia ingat, ini adalah kesempatannya untuk memperoleh pendidikan yang baik seperti yang dicita-citakan oleh ayahnya. Ardan dikenal anak yang cerdas dan sholeh, beberapa kali ia menang lomba adzan dan tilawah Al Qur'an di desanya. Prestasinya diketahui oleh Pak Kyai Rustam yang kemudian mengusahakan beasiswa untuk Ardan.
      "Kak, besok, kalau Kakak lulus SD, Ayah minta Kakak mondok ya," kata Kang Badrun waktu itu.
      "Mondok Yah? Di mana?" tanya Ardan.
      "Tempat Ayah mondok dulu, di Al Hikmah Magelang," jawab Kang Badrun.
      "Inshaallah Yah, tapi Ibu gimana? Boleh ndak Kakak mondok?" Ardan balik bertanya.
      "Tenang, sudah Ayah bicarakan sama Ibu, Ibu mendukung kok, Kak," jawab Kang Badrun.
      Ya, Yu Partinah memang menyetujui rencana Kang Badrun, almarhum suaminya, agar Ardan mendapatkan pendidikan agama terbaik di Pondok Al Hikmah Magelang waktu itu. Tapi itu di saat Kang Badrun masih ada bersama mereka! Dan  kini ... Meskipun Ardan mendapat beasiswa, kesepian sendiri di rumah tanpa Kang Badrun di sisinya, merupakan hal tak pernah terbayangkan sebelumnya.
      Sebenarnya jarak dari kota tempat tinggal Yu Partinah dan Kota Magelang tak seberapa jauh, hanya sekitar dua sampai 3 jam naik bis.
      "Sanggupkah aku  Ya Rabb?" tangis Yu Partinah di qiyamul lailnya setiap malam. Ia tak pernah lepas dari tahajud, memohon petunjuk dari Sang Pencipta.
      Detak jam dinding masih terasa keras terdengar. Tik, tik, tik. Suaranya tak sekeras tadi kala dirinya selesai dari shalat tajahudnya. Dadanya terasa kian longgar. Ia sudah bertekad mengikhlaskan semua. Termasuk Ardan yang akan pergi mondok, meninggalkannya sendiri di rumah. Itu adalah wasiat  almarhum suaminya. Jarum jam menunjukkan pukul  02.30 wib. Yu Partinah  melipat mukenanya. Ia beringsut ke dapur,  menyiapkan makan sahur untuk dirinya dan Ardan, putranya.