Ya, Ranti adalah mu’alaf. Dan dia belum sempat belajar mengaji meski Syifa putrinya sudah berusia 3 tahun. Waktunya banyak tersita di garmen tempatnya bekerja. Selama ini Ranti baru belajar sholat dan bacaannya. Entah benar atau tidak cara membacanya. Ranti membeli sebuah buku “Tuntunan Sholat Wajib” dari sebuah toko kecil di sudut jalan, yang juga biasa menjual keperluan seragam dan peralatan sekolah.
Dengan tekad belajar sholat secara mandiri. Sesekali Ranti menanyakan tentang bagaimana gerakan dan cara membaca yang benar dalam sholat kepada teman sekantornya. Ia sudah sering melihat bagaimana mereka sholat, jadi paling tidak Ranti sudah tahu urutan gerakan sholat.
Mas Dimas, suaminya, tidak pernah memaksanya untuk belajar tentang agama Islam. Dia memberikan ruang dan waktu, berharap agar Ranti bisa menemukan hidayah untuk hijrah menjadi seorang muslimah yang baik dari hatinya sendiri. Bukan karena Dimas menikahinya secara Islam.
Ternyata Eyang Utinya, Ibu Ranti, setiap sore selalu membawa Syifa ke masjid untuk ikut mengaji bersama teman sebayanya. Ibu Ranti masih tetap beragama Kristen, tapi beliau mempunyai toleransi yang sangat luar biasa kepada Ranti, menantu dan cucunya. Sungguh, seperti sebuah teguran dari Yang Maha Kuasa, Ranti merasa malu, justru Ibunyalah yang membawa putri kecilnya ke masjid dan mengenalkannya pada agama cucunya. Membelikannya beberapa pasang jilbab dan baju muslim. Justru bukan Ranti. Ranti berusaha berintrospeksi dirinya, dan memikirkan cara bagaimana menemukan solusi atas masalah yang dihadapainya.
Kesibukan bekerja di kantor telah membuatnya terlena. Dia nyaris lupa bahwa pendidikan agama juga penting bagi putri semata wayang kesayangannya, yang menjadi tanggungjawabnya sebagai seorang ibu.
Hari Sabtu, seperti biasa Ranti pulang lebih awal dari biasanya. Di dekat gang masuk perumahannya, Ranti berpapasan dengan Bu Nana, yang sedang berada di depan rumah beliau. Ia tahu Bu Nana adalah seorang Ustadzah yang sering memberikan kajian di lingkungannya.
“Assalamu’alaikum Bu,” sapa Ranti ramah.
“Wa’alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh, baru pulang Mbak?” tanya Bu Nana lembut. Singkat cerita, meminta waktu untuk bertemu Bu Nana nanti malam.
“Monggo Mbak Ranti, saya tunggu dengan senang hati,” jawab Bu Nana setelah mendengar permintaan Ranti.
Obrolan panjang lebar terjadi malam itu di rumah Bu Nana. Sengaja Ranti menitipkan Syifa ke ibunya, supaya bisa mengobrol tentang peristiwa yang dialaminya bersama Syifa.
Senyum Bu Nana mengembang, beliau tampak sabar dan penuh kehati-hatian dalam menanggapi dan menjawab berbagai pertanyaan dari Ranti. Rasa lega luar biasa mengisi penuh dadanya. Bahagia karena Ranti telah merasa menemukan solusi dari rasa galaunya selama ini. Bu Nana sanggup membantu Ranti dan Syifa untuk les privat membaca Iqra di rumah.