Oleh : Yfs
Nyaris setiap hari pedagang pisang itu lewat di depan rumahku, menawarkan dagangannya. Pak Anwar namanya. Motor Honda Astrea-nya yang tampak masih kokoh, dengan keranjang warna hijau di sisi kiri dan kanan motornya.
Di rumah, selalu ada stok buah pisang tiap hari, yang digunakan sebagai pakan burung peliharaan suamiku yang berjumlah belasan itu. Itulah kesibukannya sejak pensiun dua tahun lalu dari sebuah perusahaan parquet di Kota Temanggung.
"Pisaaaang ... pisaaang ... pisangnya pak," suara lantang pak Anwar  pedagang pisang terdengar lantang. Suara deru motor dan teriakan khas yang sudah ku hafal betul.  "Ya pak,"sahut suamiku dari dalam rumah tak kalah lantangnya. Aku meneruskan  aktifitasku, berkutat menyiapkan bumbu di dapur untuk masakanku hari ini.
Dengan sigap suamiku segera berlari keluar rumah dan memilih pisang yang biasa dibelinya. Pisang kepok putih. Setelah beberapa saat memilih, terdengar sayup-sayup terjadi tawar-menawar harga. "Sing niku kaleh doso ewu mawon pak," kata pak Anwar menjawab suamiku yang bertanya tentang harga pisang yang dipilihnya, sambil menata kembali buah pisang yang ada di keranjangnya. Segera suamiku memberikan uang pas kepada pak Anwar. "Maturnuwun pak," kata Pak Anwar sambil menghidupkan motornya. Deru khas suaranya lumayan keras terdengar. "Mungkin belum ada uang lebih untuk sekedar mengganti knalpot tua motornya," gumamku lirih.
"Pah, beli pisang berapa sisir? Kepok kuningnya ada gak?" tanyaku setelah melihat suamiku masuk sambil membawa sesisir pisang kepok putih yang cukup besar ukurannya. "Satu sisir tok Mah, pisangnya agak kurang bagus, besok saja kalau Pak Anwar bawa pisang kepok kuning yang bagus, aku belikan," sahut suamiku sambil mengambil sebilah pisau dapur. "Hmm, ya ... ya," jawabku sambil menganggukkan kepala perlahan.
Hari ini, aku berencana membuat kolak pisang. Aku bahkan sudah siap membeli sebungkus kolang-kaling, dua bungkus tape singkong dan dua buah santan kemasan, di Mbak Jatmi, seorang bakul belanjan yang biasa mangkal di depan rumahku.  Akupun masih menyimpan sebungkus gula jawa isi setengah kilogram yang kubeli saat wisata ke  Pantai Klayar  Pacitan tempo hari. Dua bungkus santan Kara sudah kusiapkan pula.  Kata orang sih, lebih mantab memakai santan kelapa yang masih baru diparut dan diperas. Lebih alami. Tapi aku pakai cara cepat dan praktis, tanpa harus marut kelapa dulu ... hehe ... hehe.., maklum, jam 07.00 pagi, aku harus  siap berada di sekolah tempatku untuk mengajar anak usia dini di sebuah taman kanak-kanak  yang letaknya hanya sekitar 50 meter  dari rumahku.
"Yaah ... gagal bikin kolak pisang nih," celetukku di hadapan suamiku yang sedang berada di sebelahku. Dia hanya menyunggingkan senyum manisnya. Haha ... senyum yang selalu membuatku jatuh cinta setiap saat. Uhhuy ... hehe.
Selesai memilah buah pisang yang dbelinya tadi, tiba-tiba tangan suamiku mengulurkan beberapa buah pisang ke hadapanku. "Ni Mah, buat kolak yang manis ya ... yang seperti Mamah," canda suamiku sambil berlalu dari hadapanku. "Hmm ... pasti ini pisang loro ati ya Pah?" kataku sambil tertawa kecil.
Loro ati? Hehe ... ya, sebutan buah pisang yang tampak dari luar mulus cantik kulitnya, namun keras di bagian dalamnya. Burung akan tahu mana buah pisang yang bisa dimakannya. Mereka tidak akan mau memakan buah pisang yang loro ati.