Mohon tunggu...
yossaargadea
yossaargadea Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Aku adalah seseorang yang kreatif dan santai, dengan minat dalam seni kuliner, terutama membuat kue, serta menikmati momen rileks dengan mendengarkan musik. Kombinasi ini mencerminkan kepribadian yang menghargai keindahan dalam cita rasa dan irama kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Media Sosial: Antara Pendorong Demokrasi dan Pemicu Polarisasi Politik

9 Januari 2025   08:42 Diperbarui: 9 Januari 2025   08:40 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di era digital saat ini, media sosial memainkan peranan yang sangat signifikan dalam dinamika politik global. Dengan kemudahan akses dan kemampuan untuk menghubungkan individu dari berbagai latar belakang secara langsung, media sosial telah mengubah cara masyarakat berinteraksi dengan politik, baik dalam hal memperoleh informasi politik, berdiskusi tentang isu terkini, hingga mengambil keputusan politik. Menurut Clay Shirky, seorang pakar komunikasi dan media, media sosial adalah "platform yang memungkinkan individu dan kelompok untuk mengorganisir diri, berbagi informasi, dan memengaruhi keputusan politik secara lebih efisien dibandingkan dengan media tradisional".

Di balik kemudahan ini, muncul dampak negatif seperti penyebaran informasi yang tidak akurat (misinformasi) dan polarisasi politik yang semakin tajam. Polarisasi politik merujuk pada fenomena di mana perbedaan pandangan politik dalam masyarakat semakin tajam dan terpisah menjadi dua atau lebih kelompok yang sangat berbeda, sering kali dengan ketegangan atau permusuhan yang meningkat di antara mereka. Polarisasi ini mencakup perbedaan yang tajam dalam nilai, sikap, ideologi, atau preferensi politik, yang membuat kelompok-kelompok tersebut semakin terasing satu sama lain.

Di sisi lain, kehadiran media sosial juga telah menciptakan tantangan besar dalam menjaga integritas demokrasi dan kerukunan sosial. Dengan kecepatan penyebaran informasi yang sulit dibendung, media sosial sering kali menjadi arena bagi aktor-aktor politik tertentu untuk memanfaatkan platform ini sebagai alat propaganda. Fenomena ini diperburuk oleh algoritma platform digital yang dirancang untuk memprioritaskan konten yang memancing keterlibatan emosional, seperti kemarahan atau ketakutan, yang justru memperkuat polarisasi dalam masyarakat. Dalam konteks ini, media sosial tidak hanya menjadi medium untuk menyuarakan pendapat, tetapi juga medan pertempuran ideologi yang sering kali menciptakan jarak dan ketegangan di antara kelompok-kelompok masyarakat.

Rendahnya literasi digital di sebagian besar populasi menambah kerentanan terhadap penyebaran hoaks dan informasi yang salah, sehingga masyarakat lebih mudah terjebak dalam ruang gema atau bubble filter yang memperkuat pandangan sepihak. Dengan situasi ini, polarisasi politik tidak hanya berdampak pada hubungan sosial di dunia maya tetapi juga membawa konsekuensi nyata di kehidupan sehari-hari, seperti meningkatnya ketegangan antarindividu dan kelompok yang berbeda pandangan politik. Oleh karena itu, penting untuk memahami fenomena ini secara mendalam guna mencari solusi yang efektif untuk memitigasi dampak negatif media sosial terhadap polarisasi politik.

Polarisasi Politik di Indonesia

Polarisasi politik di Indonesia seringkali terlihat jelas dalam konteks pemilu dan perbedaan ideologi antara partai politik besar, seperti PDI-P, Gerindra, dan partai lainnya. Dalam beberapa tahun terakhir, perbedaan politik ini semakin memperburuk ketegangan sosial, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Pola polarisasi ini juga dapat dilihat dalam perbedaan pandangan antara pendukung Jokowi (Presiden Indonesia) dan Prabowo (mantan calon Presiden), terutama dalam Pemilu 2019, yang membagi masyarakat menjadi dua kubu yang sangat terbagi.

Polarisasi politik juga menjadi isu penting di Indonesia, yang seiring berkembangnya teknologi dan media sosial semakin mencuat sebagai tantangan besar dalam kehidupan politik. Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara telah mengalami dampak besar dari media sosial dalam membentuk perilaku politik masyarakat, baik dalam pemilu maupun dalam pembahasan isu-isu sosial tertentu.

Polarisasi politik di Indonesia semakin menjadi perhatian seiring dengan meningkatnya penggunaan media sosial sebagai sarana komunikasi dan kampanye politik. Pemilu 2019 menjadi contoh nyata di mana masyarakat terbagi menjadi dua kubu yang saling berseberangan, yaitu pendukung Jokowi dan Prabowo, dengan tensi yang terasa baik di dunia nyata maupun maya. Media sosial memperburuk polarisasi ini melalui penyebaran informasi yang bias, misinformasi, dan hoaks, yang sering kali diperkuat oleh algoritma platform digital. Akibatnya, masyarakat cenderung terjebak dalam ruang gema, di mana mereka hanya terpapar pandangan politik yang sejalan dengan keyakinan mereka, sehingga sulit menerima perbedaan. Polarisasi ini tidak hanya memengaruhi relasi sosial antarindividu, tetapi juga melemahkan semangat demokrasi karena diskusi publik cenderung berubah menjadi arena konflik, bukan forum untuk mencari solusi bersama. Dalam jangka panjang, polarisasi politik yang terus berlanjut berpotensi mengancam stabilitas sosial dan merusak kepercayaan terhadap institusi politik di Indonesia.

Pengaruh Media Sosial dalam Polarisasi Politik

Media sosial telah menjadi platform utama untuk kampanye politik, penyebaran informasi, serta tempat berdiskusi dan berdebat tentang berbagai isu politik. Di Indonesia, platform seperti Facebook, Twitter (X), dan Instagram digunakan secara luas oleh para politisi dan pemilih untuk mengkampanyekan ideologi dan menggerakkan massa. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Zeynep Tufekci, media sosial juga menciptakan ruang gema yang memperkuat pandangan politik yang ada. Hal ini terjadi karena pengguna cenderung mengikuti akun-akun dengan pandangan serupa, yang memperburuk polarisasi ideologi politik. Dalam banyak kasus, ini menciptakan ketegangan antara kelompok yang mendukung atau menentang kebijakan pemerintah atau pemimpin tertentu.

Contohnya, dalam Pemilu 2019, penyebaran informasi yang memecah belah di media sosial, seperti berita palsu atau hoaks terkait calon presiden, memperburuk polarisasi politik. Banyak warga yang hanya menerima informasi yang sesuai dengan preferensi politik mereka, sehingga memperburuk ketegangan antara pendukung Jokowi dan Prabowo. Seperti yang tercatat dalam penelitian oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), sekitar 65% pemilih di Indonesia mendapatkan informasi politik utama mereka melalui media sosial, yang sering kali berisi opini partisan dan kurang mengutamakan verifikasi fakta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun