Studi menunjukkan bahwa kekecewaan terhadap suatu hubungan pernikahan juga bisa menjadi alasan perempuan dewasa menunda menikah. Misalnya, mereka lahir dan besar dari keluarga yang tidak harmonis atau lingkungan sosial yang hanya memperlihatkan sisi buruk pernikahan.
Situasi tersebut juga berkaitan erat dengan kekerasan berbasis gender, yang termasuk kekerasan verbal dan fisik, yang kerap terjadi dalam keluarga.
Menurut teori feminisme, lembaga pernikahan sering menjadi tempat bersarangnya kasus-kasus kekerasan pada perempuan. Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan mencatat bahwa selama 2021, ada 459.094 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 73 persen (335.399 kasus) di antaranya adalah kekerasan ranah personal. Mayoritas kasus tergolong kategori kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Selain (KDRT), kasus perceraian mendorong kekhawatiran perempuan untuk menikah. BPS mencatat pada 2022 terjadi lonjakan angka perceraian, yakni mencapai 516.334 kasus. Ini merupakan angka tertinggi dalam lima tahun terakhir. Pada 2017, jumlah perceraian masih di angka 374.516.
Waithood oleh kaum perempuan dapat dikatakan sebagai imbas dari banyaknya kasus KDRT dan perceraian tersebut. Posisi perempuan yang lebih rentan menjadi korban kekerasan dibanding laki-laki menambah sisi gelap sebuah pernikahan. Perempuan yang memilih menunda, bahkan tidak mau sama sekali menikah, biasanya memiliki krisis kepercayaan terhadap lembaga pernikahan.
Banyak pakar feminisme yang memandang bahwa lembaga pernikahan cenderung melanggengkan budaya patriarki. Hal ini karena perempuan selalu disudutkan ihwal standar usia ideal menikah dan kesehatan reproduksinya, perihal kemampuannya melahirkan keturunan.
Semakin banyak juga perempuan yang menganggap bahwa menikah adalah menerjunkan diri ke dalam masalah karena mereka harus menyerahkan diri kepada laki-laki. Hal itu akan menghambat mereka dalam mengembangkan diri.
Pada akhirnya, maraknya fenomena waithood oleh perempuan saat ini tak hanya didorong dari tuntutan perempuan untuk mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki. Ada juga dorongan sosial dan praktik-praktik budaya maskulin yang selalu menjadikan perempuan sebagai "korban".
Fenomena waithood tidak hanya menunjukkan terjadinya transformasi sosial yang kian berkembang dalam masyarakat, tapi juga sebagai bentuk perjuangan perempuan melawan kuatnya budaya patriarki.
Dengan memilih menunda menikah, banyak perempuan yang merasa dapat lebih mengembangkan kualitas dirinya serta menyiapkan kemandirian diri secara emosional dan finansial. Kesiapan emosional dan finansial perempuan akan dapat membantu mereka lebih mudah melawan kekerasan berbasis gender dalam lembaga pernikahan serta masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI