Salah satu penyebab penurunan ini, menurut BPS, adalah adanya pergeseran persepsi para kaum muda tentang pernikahan dan korelasinya dengan kualitas hidup, terutama terkait dengan pendidikan serta status ekonomi.
Sementara itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkapkan bahwa usia perempuan menikah cenderung semakin delay alias mundur. Rata-rata usia perempuan menikah sekarang adalah 22 tahun atau lebih. Padahal tahun-tahun sebelumnya, terutama sebelum 2020, lebih banyak yang menikah sebelum usia 22 tahun.
BKKBN juga mendata bahwa rata-rata perempuan hanya praktis melahirkan satu anak perempuan. Artinya, satu perempuan meninggal digantikan satu perempuan lahir. Ini nantinya membuat sustainability kualitas hidup lebih terjaga.
Studi literatur saya menemukan bahwa perempuan Indonesia mulai menunda menikah pada usia matang. Hal ini sebagian besar dapat dimaknai bahwa hasrat seks dan memproduksi keturunan dengan seorang laki-laki dalam rumah tangga bagi perempuan mulai bergeser.
Setidaknya ada empat alasan utama perempuan milenial memilih menunda menikah.
1. Identitas digital masyarakat
 Pengaruh digitalisasi di Indonesia pada kehidupan masyarakat telah memberi ruang publik bagi perempuan untuk mengekspresikan diri. Wacana kebebasan perempuan untuk memilih antara peran domestik, kosmopolitan, atau menjalani keduanya sekaligus mendobrak stereotipe perempuan yang kerap dicap "kaum terbungkam".
Pengetahuan yang dimiliki oleh perempuan membuat pola pikir mereka menjadi lebih luas dan terbuka dalam memaknai hidup serta membentuk "kuasa" atas kontrol dirinya sendiri. Ini menjadikan mereka lebih mandiri dan terbuka terhadap berbagai pilihan hidup, termasuk menunda menikah.
Media digital juga berkontribusi memproduksi berbagai macam ideologi melalui gerakan aktivisme yang dapat mempengaruhi cara pandang individu terhadap makna kebahagiaan, termasuk soal menikah. Di kanal-kanal media sosial, seperti Instagram, mudah ditemukan akun-akun aktivisme gerakan sosial yang lantang menyuarakan isu kesetaraan gender, seperti @indonesiafeminisme, @lawanpatriarki, dan @perempuanbergerak.
Generasi digital ini sangat berkaitan erat dengan fenomena waithood. Mereka lebih lantang mengemukakan identitas diri, dianggap memiliki wawasan yang luas, menyukai kebebasan, dan ingin memiliki kontrol atas dirinya.
2. Beban sebagai sandwich generation