Menikah adalah harapan besar dalam kehidupan setiap manusia baik itu laki-laki maupun perempuan yang  benar-benar matang  sepakat untuk bersama  membangun satu visi misi dalam sebuah ikatan membentuk keluarga, tentunya harus melewati  validasi verifikasi  dan administrasi perkawinan pada umumnya. Menikah ataupun tidak menikah adalah sebuah pilihan,Â
Saya  tertarik  menulis fenomena ini untuk dibagikan sebagai artikel  bagi pembaca, sebaliknya antitesis dari menikah adalah tidak menikah atau keadaan menunda menikah"Waithood" hal tersebut telah menjadi fenomena yang semakin umum di kalangan perempuan dewasa. ini menandai perubahan dalam pola hidup dan ekspektasi perempuan terhadap hubungan dan pernikahan. Fenomena ini muncul sebagai hasil dari berbagai faktor sosial, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi cara perempuan memandang diri mereka sendiri dan masa depan mereka.
Siane Singerman, seorang profesor dari University of America, memperkenalkan Waithood pada akhir tahun 2007. Studinya menunjukkan bahwa generasi muda di Timur Tengah memilih untuk menunda menikah karena mereka tidak memiliki cukup finansial. Studi lain yang dilakukan oleh Marcia Inhorn dari Yale University mendukung fenomena ini, generasi muda memilih untuk menunda pernikahan terutama perempuan dan kaum berpendidikan.
Pada abad ke-21, fenomena ini dianggap normal dan menyebar ke seluruh dunia. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada ketakutan akan krisis ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, dan kesalahan dalam mendidik anak. Selain itu, kultur patriarki yang kuat di Indonesia menyiksa perempuan di tempat kerja, hubungan, dan lainnya. Selain itu, perempuan tidak menikah karena kultur keagamaan yang sering disalahartikan dalam hubungan.
Tentunya ada pro dan kontra baik dari segi sosial budaya, politik., beberapa faktor  dan alasan yang mempengaruhi sudut pandang kaum Perempuan untuk enggan menikah, terutama ketidakstabilan ekonomi global tidak hanya menciptakan ketakutan atas daya tahan negara dari krisis, tapi juga berimplikasi pada mindset kolektif tentang seksualitas, makna pernikahan, dan memiliki keturunan.
Masalah bertumpuk-tumpuk ihwal kesetaraan gender, ketimpangan ekonomi dan pendidikan, serta masih kentalnya budaya patriarki telah menciptakan kekhawatiran bagi perempuan di banyak negara untuk membina rumah tangga dan memiliki anak.
Kekhawatiran ini lantas mendorong makin luasnya "resesi seks": menurunnya aktivitas seks untuk tujuan reproduksi sebagai konsekuensi dari keputusan untuk tidak memiliki keturunan (childfree) dan menunda menikah (waithood). Gerakan waithood ini banyak dilakukan oleh generasi milenial, terutama kaum perempuan.
Di Indonesia, negara yang ditopang oleh kultur religius dan spirit kekeluargaan, tanda-tanda terjadinya fenomena resesi seks mulai terlihat, khususnya pada penurunan data pernikahan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam 10 tahun terakhir, tren pernikahan di Indonesia terus turun secara tajam. Angka pernikahan nasional terendah tercatat pada 2022, yakni sebanyak 1,7 juta pernikahan, turun dari setahun sebelumnya yang sebanyak 1,79 juta. Terakhir kali angka pernikahan ada di titik tertinggi adalah pada 2011, yaitu sebanyak 2,31 juta pernikahan.
Data BPS juga menunjukkan bahwa persentase pemuda, baik laki-laki maupun perempuan, yang belum menikah di Indonesia, per 2022, mencapai 64,56 persen dari total 65,82 juta pemuda (atau 24 persen dari total populasi) secara nasional. Angka ini naik 3,47 persen dibanding pada setahun sebelumnya, yang sebesar 61,09 persen.
Salah satu penyebab penurunan ini, menurut BPS, adalah adanya pergeseran persepsi para kaum muda tentang pernikahan dan korelasinya dengan kualitas hidup, terutama terkait dengan pendidikan serta status ekonomi.