Mohon tunggu...
Yoslin Pasaribu
Yoslin Pasaribu Mohon Tunggu... Bidan - Sahabat penanya

Tulisan kreatif

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Mengawal Kedaulatan Maritim: Upaya Penguatan Kapasitas Maritim dalam Menjaga Kedaulatan

30 Mei 2024   06:56 Diperbarui: 30 Mei 2024   06:56 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesawat tempur Rafale (Foto: dok.Dassault-Aviation)

Laut China Selatan (LCS) merupakan perairan terluas di dunia yang paling diperebutkan oleh China dan beberapa negara di ASEAN. Laut China dipandang sebagai perairan dengan sumber daya alam dan hasil laut yang melimpah, hal inilah  yang memicu sengketa terhadap Laut China Selatan oleh negara-negara kawasan.

Laut China Selatan terdiri atas gugusan kepulauan yang sebagian besar merupakan pulau-pulau kecil tak berpenghuni. Terdapat enam negara yang memperebutkan Laut China Selatan, yaitu China, Filipina, Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia dan Vietnam

Dimana letak Laut China Selatan?

Laut China Selatan adalah laut tepi bagian dari Samudera Pasifik. Secara geografis berbatasan dengan China, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Vietnam, dan Taiwan.

Garis batas Laut China Selatan menyerupai huruf "U", dimulai dari perairan Mainan, dan berakhir di sebelah timur perairan Taiwan. Batas ini ditandai oleh China dengan Sembilan Garis Terputus (SGT) atau The Nine Dash Line.

Di dalamnya terdapat banyak terumbu karang, ratusan pulau-pulau kecil tak berpenghuni, dua kepulauan besar yaitu kepulauan Spratly dan kepulauan Paracel, serta terumbu karang

Pemicu sengketa Laut China Selatan

Sengketa atau konflik Laut China Selatan bermula ketika China pada tahun 1947  mempublikasikan peta teritorial yang membubuhkan sembilan garis putus-putus sebagai penanda atau batas imajiner untuk mengklaim sebagian besar, yakni 90% wilayah Laut China Selatan.

Klaim China ini didasarkan pada latar belakang sejarah China kuno tentang wilayah kekuasaan kerajaannya. Menurut China, adalah Dinasti Han yang menemukan wilayah ini pada abad ke-2 masehi. Pada abad ke-12, Dinasi Yuan kemudian memasukkan Laut China Selatan ke dalam peta wilayahnya, yang kemudian kembali diperkuat oleh Dinasti Ming dan Dinasti Qing pada abad ke-13 SM.

Pada tanggal 28 Agustus 2023 Kementerian Sumber Daya Alam China kembali merilis peta baru, media pemerintah China Global Times menunjukkan klaim baru. Di mana negara bagian Arunachal Pradesh dan dataran tinggi Aksai Chin sebagai wilayah resmi China. Menurut kantor berita, peta tersebut disusun berdasarkan metode penggambaran batas negara China dan berbagai negara di dunia.

Guna menjaga klaimnya atas Laut China Selatan, kini China agresif membangun fasilitas militer, menempatkan kapl-kapal perangnya di wilayah perairan tersebut serta mendirikan pulau buatan.

Dok:Inisiatif Transparansi Maritim Asia (CSIS)
Dok:Inisiatif Transparansi Maritim Asia (CSIS)

Klaim China atas wilayah Laut China Selatan memicu kontroversi di antara negara lain yang juga sama-sama mengklaim berhak atas kawasan tersebut. 

Seperti Filipina, Filipina mengajukan gugatan ke Permanent Court Of Arbitration (Mahkamah Arbitrase Internasional/MAI) di Den Haag, Belanda pada tahun 2013. Filipina berusaha meminta PBB menyatakan klaim China atas sebagian kawasan Laut China Selatan adalah ilegal. Pada Oktober 2015 Mahkamah Arbitrase Internasional (MAI) menerima gugatan Filipina, dalam pandangan China tindakan MAI menerima gugatan unilateral Filipina hanya memperkeruh suasana, meningkatkan ketegangan, dan bertentangan dengan upaya untuk menyelesaikan sengketa secara damai.

Di sisi lain, Vietnam turut mengklaim kepemilikan Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly, yang tak lain mencakup hampir seluruh wilayah Laut China Selatan.

Indonesia sebagai salah satu negara yang wilayah perairannya berada di kawasan Laut China Selatan tidak memiliki klaim apapun atas Laut China Selatan. Namun saat ini Indonesia mulai terseret dalam memperjuangkan Laut China Selatan yang mana memasukkan perairan Kepulauan Natuna di dalamnya. Indonesia pertama kali mengetahui hal ini pada tahun 1993, saat diselenggarakannya Workshop Managing Potential Conflict in South China Sea. Delegasi China pada waktu itu mendistribusikan peta The Nine Dash Line atau Sembilan Garis Terputus (SGT) yang mana masuk sampai perairan Natuna, pihak Indonesia mempertanyakan garis-garis dalam peta tersebut namun China tidak memberikan jawaban atas perihal garis tersebut.

Perairan Natuna merupakan wilayah perairan yang merupakan bagian dari Kabupaten Natuna yang secara administratif masuk ke dalam provinsi Kepulauan Riau. Artinya perairan Natuna merupakan wilayah yurisdiksi Indonesia, secara tegas dan jelas berdasarkan undang-undang nasional wilayah Natuna merupakan bagian integral dari Indonesia. Ketentuan hukum mengenai Laut Natuna telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

Upaya Indonesia dalam menjaga Laut Natuna

Sejak memanasnya situasi di Perairan Natuna, sudah terjadi 3 kali insiden yang mengakibatkan pecahnya konflik maritim antara Indonesia dengan China di perairan tersebut. Dari beberapa insiden yang terjadi Indonesia sudah mengirimkan nota protes sebab Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1982). Dalam hal ini yang menjadi dasar dilayangkannya nota protes oleh Indonesia adalah ketika tindakan penegakan hukum yang dilakukan Indonesia, mendapat gangguan dari China yaitu dengan menabrak kapal nelayannya sendiri dalam rangka menghilangkan barang bukti.

 

Berdasarkan teori hukum internasional, nota protes memiliki fungsi persistant objection atau secara terus menerus Indonesia menolak mengakui klaim China tersebut dan hal ini menunjukkan sikap Indonesia kepada masyarakat internasional bahwa Indonesia tidak setuju terhadap klaim itu serta menentang keras hal tersebut.

 

Dalam menjaga wilayah Laut Natuna Indonesia dapat melakukan pengembangan pada pertahanan udara dengan orientasi perencanaan, perencanaan berupa peningkatan jangkauan ke wilayah konflik bertujuan untuk mempersiapkan badan pertahanan menghalau segala ancaman yang mungkin datang. Upaya yang dilakukan di antaranya dengan melakukan akuisisi atau rencana pembelian sejumlah besar pesawat tempur, hal ini disampaikan Prabowo terkait rencana pembelian total 42 jet tempur Dassault Rafale dari Perancis untuk TNI AU. Pesawat Rafale yang dibeli Pemerintah akan ditempatkan di Pekanbaru dan Pontianak, penempatan awal di Pekanbaru merupakan langkah posisi bertahan dalam menjaga kedaulatan di Natuna. Hal ini merujuk kecepatan maksimal Rafale 1900 km/jam dan jarak Pekanbaru-Ranai 860 km, kurang lebih 30 menit Rafale sudah tiba di Natuna.

Pesawat tempur Rafale (Foto: dok.Dassault-Aviation)
Pesawat tempur Rafale (Foto: dok.Dassault-Aviation)

Mengapa Laut China Selatan jadi rebutan?

Laut China Selatan memiliki dua hal yang penting dalam perebutan wilayah, yakni letak strategis dan potensi ekonomi. Dilihat dari aspek strategis, perairan tersebut memiliki beberapa jalur pelayaran dan sebagian besar industri logistik dunia.

Laut China Selatan adalah jalur tercepat dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia yang menghubungkan Asia Timur dengan India, Asia barat, Eropa, dan Afrika

Dilansir dari CFR Global Conflict Tracker, total nilai perdagangan yang melintasi kawasan Laut China Selatan pada tahun 2016 mencapai US$3,37 triliun. Perdagangan gas alam cair global yang transit melalui Laut China Selatan pada tahun 2017 sebanyak 40% dari total konsumsi dunia.

 

Persaingan klaim kedaulatan teritorial atas pulau-pulau dan perairan Laut China Selatan menjadi sumber konflik  dan saling curiga yang berlangsung sejak lama.

Peran Indonesia dalam menyelesaikan Laut China Selatan?

Indonesia merupakan anggota ASEAN ikut berpartisipasi dalam pengelolaan konflik Laut China Selatan, peran Indonesia dalam upaya perdamaian yakni melakukan diplomasi multilateral melalui ASEAN, pendekatam politik netral, pengawasan dan keamanan maritim serta diplomasi perdamaian berdasarkan ASEAN Way

Dengan pendekatan netral, Indonesia menjadi kekuatan pendorong dalam mendukung perdamaian dan keamanan di kawasan Laut China Selatan. Upaya diplomasi dan kebijakan keamanan menjadi contoh yang baik dalam menangani konflik di wilayah maritim. Dengan terus berperan aktif, Indonesia dapat berperan aktif dalam pembangunan perdamaian di wilayah konflik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun