Tapi sekarang, saya menjawab
” Tenang Yah, putri bungsumu ini sedang belanjar mandiri, termasuk secara finansial. sudah 23 umurnya, malu rasanya kalau masih harus meminta Ayah. Doakan saja semoga rezekinya lancar. Tenang, Adek tidak akan bertambah kurus disini”
Lalu Ayah hanya tertawa mendengarnya, sambil menyerahkan telepon ke Ibu. Dan seperti biasa pula, Ibu akan keukeuh
“Kalau kamu ingin dan butuh beli apa-apa, jangan sungkan bilang ke Ayah ya ‘Dek”
Kemudian percakapan akan berlanjut apakah saya sudah makan, makan dengan lauk apa, bagaimana kuliahnya dan kapan saya pulang. Untungnya, lagi-lagi, Ayah dan Ibu jaraaaang sekali bertanya soal kapan saya menikah (Hey, saya BARU 23!). Rupanya mereka masih khawatir putri bungsunya ini kelaparan di Taiwan.
Kemudian di akhir percakapan, Ayah (selalu) menyelipkan sederet pesan.
“Ingat selalu ya Dek, setiap akan melangkah keluar rumah, niatkan dalam hati. Semoga langkah hari ini diridhai Tuhan. Dan semoga ilmu yang didapat akan menjadi pembelajaran yang bermanfaat buat kamu, bangsa, agama juga dunia.”
…
.
Ayah sayang, sekarang saya mulai memahami pesan yang engkau berikan. Karena sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang berguna untuk sesama. Dan sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang dimanfaatkan, untuk manusia, negara, dunia juga agama. Doakan selalu putri bungsumu ini agar segera bermanfaat, dengan ilmu yang dipunya. Untuk sesama manusia, Indonesia tercinta, agama juga dunia. Dan saya selalu berdoa semoga kita selalu berbahagia.
Maafkan belum bisa segera pulang.