Cemas, tegang, khawatir.
Aku takut apa sih?
"Nanti enggak usah dilihat ya." Suara perawat membuatku membuka mata. Di tangannya ada jarum suntik berisi cairan anestesi.
"Itu nanti disuntik ke gigi?" Aku cemas.
"Ke gusi mbak, nanti dijelaskan dokter. Gigi kan enggak bisa disuntik." Perawat menjelaskan ramah.
"Aduh, Mbak. Aku mau kabur aja." Aku bersiap turun dari kursi tindakan.
"Eh, jangan," perawat melarangku turun sambil tertawa.
 "Dok, pasiennya malah mau kabur ini lho." Perawat memanggil dokter di ruang sebelah. Aku sudah memposisikan diri duduk tegak.
Cemas, tegang, khawatir.
Aku takut apa sih?
Gigi bungsuku impaksi. Tumbuh miring. Kuawet-awet sakitnya sejak 2019 sebab takut dicabut. Kini setelah ritual pencabutan gigi bungsu ini kelar, barulah kusadari bodohnya aku menyimpan rasa sakit bertahun-tahun.
Setelah drama suntik gusi, aku nunggu sekitar 20 menit agar biusnya bekerja.
"Jadikan resolusi 2023, Bu. Selamat tinggal gigi buruk." Dokter spesialis bedah mulut di depanku menyemangati.
Aku pasrah mangap. Gigiku yang tinggal sisa-sisa peradaban diongklek-ongklek, dicabut lalu gusiku dijahit. Prosesnya enggak sampe 10 menit. Tanpa sakit. Â Ternyata enggak semua gigi bungsu impaksi kudu dibedah lho. Punyaku dicabut aja. Tiwas wis keweden bertahun-tahun.
Bisa dibaca dari gambar di atas bagaimana aku mengafirmasi diri agar berani cabut gigi. Nyatanya gagal.
Habis bius, aku salat Magrib dulu. Ngaji satu dua lembar. Mencari kekuatan pada Yang Maha Besar.
Ajaibnya habis itu aku jauh lebih tenang. Udah enggak pengin kabur. Pasrah. Ketawa ketiwi paska tindakan.
"Ternyata enggak sesakit yang saya bayangkan, Dok."
Dokternya maklum. Mungkin blio dapet ratusan komentar serupa dari pasien drama macam aku.
Perkara habis bius sakitnya bikin pengin ngreog semalaman ya itu persoalan lain.
Kalian, pernah cabut gigi juga?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H