Seekor bunglon hijau tergeletak begitu saja di teras kami pagi ini. Beberapa semut mulai berkerumun. Siap berpesta.
"Mikooooo....!" Sedikit kesal aku memanggil tersangka. Yang dipanggil tak menunjukkan ekornya. Asik mendengkur di bawah sofa.
Miko, kucing betina entah milik siapa. Tetangga sekitar tidak ada yang menginginkannya. Kalung dengan tulisan 'miko' satu-satunya penanda seseorang memilikinya. Mungkin tetangga gang belakang. Atau dekat masjid masjid sana tempat Kiko, kucing jantanku berpetualang.
Bukan sekali ini Miko mengirim upeti padaku. Kadang tikus, kadang burung, lain waktu cicak. Modusnya sama. Digigit sampai mati, lalu ia setorkan ke teras rumah di depan jemuran. Aku yang tiap pagi hilir mudik mengurus cucian, sudah pasti menemukan bangkai binatang duluan.
"Miko, kalau kamu masih mau tinggal di sini, lain waktu bawalah emas permata." Aku duduk melipat pakaian di samping Miko.
"Di dunia manusia, bangkai ini tidak berharga. Manusia sudah biasa memakannya beramai-ramai. Bangkai saudaranya sendiri. Di televisi, di surat kabar, juga media sosial." Miko mengedipkan matanya, menatapku sambil lalu.
Di depan gang, suara mamang sayur menawarkan dagangannya membuatku mendekat. Aku berencana memasak sayur asem hari ini. Akan cocok dinikmati dengan sambal terasi kiriman jeng Tuti, tetangga baruku.
Tiba-tiba kulihat Lia, tetanggaku yang rajin senam membuka pagar. Ah, aku teringat cerita Lia pekan lalu. Darinya kutahu gosip jeng Tuti selingkuh dengan trainer di tempat olahraganya. Eh, aku bukan mau gosip ya. Cuma konfirmasi. Bisa diejek Miko aku kalau menyukai bangkai.Â
Kutinggalkan Miko yang menatapku tajam sambil mengeong. Aku angkat bahu. Percuma ngobrol sama Miko.