Malam ini hujan turun lagi, Sayang.
Aku tak perlu repot mendengarkan keluhan si bungsu soal cuaca yang panas.
Kipas angin tua kita mati tak lama setelah kau pergi. Mungkin dia tahu, tuannya tak akan kembali.
Sebentar, aku mendengar suara air hujan jatuh di dalam rumah. Dapur kita tergenang. Atapnya rembes, bukan lagi tempias yang kita puja sambil bicara kenangan. Tega sekali. Kamu bahkan belum sempat naik ke atas. Memaku atap lebih kuat. Tidakkah kamu terlalu buru-buru untuk pergi?
Ah, bungsu kita demam. Kupikir dia merindukanmu. Sudah sepekan kita tak bertemu. Tetangga bilang, anak kita tertular. Mereka enggan bertamu sejak kau meninggal.
Apa perlu kusampaikan pada tetangga itu jika anak kita kelaparan? Sepiring nasi basi masih terhidang di meja. Belum sempat ia makan. Ia sibuk duduk di sampingku. Pipinya basah, menangisiku yang meriang.
Tunggulah sebentar, Sayang. Aku tak ingin lekas berkemas. Rinduku padamu tak sampai seujung kuku dari hidup si bungsu. Biar dia dewasa dulu.
Tapi, aku bukan sedang memilih kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H