Entah menurun dari mana hobi ini, kami sekeluarga suka membaca. Apa saja yang tersedia di rumah, biasanya saya baca. Ibu berlangganan majalah Nova. Kami anak-anaknya, dibelikan majalah Bobo secara berkala. Bapak sendiri cukup puas membaca koran sore Wawasan yang terbit di Jawa Tengah medio 2000an awal. Â
Perpustakaan menjadi salah satu tempat  favorit saya. Baik perpustakaan sekolah maupun perpustakaan desa sebelah, keduanya menjadi langganan main akhir pekan. Di perpustakaan, saya menemui banyak buku, salah satunya buku-buku tentang cerita rakyat.
Meski banyak membaca, cerita rakyat yang paling berkesan bagi saya bukan berasal dari buku. Cerita rakyat paling seru kami dapatkan dari Ibu. Mendengar Ibu bertutur jelang kami tidur menjadi momen yang kami tunggu.Â
Maklum, Ibu pegawai yang banyak dinas di lapangan. Kami harus menunggu Ibu selo di bulan-bulan tertentu untuk mendengar beliau berkisah.
Salah satunya cerita yang paling saya ingat dari Ibu adalah Timun Mas. Cerita rakyat dari tanah Jawa ini menjadi salah satu kisah yang Ibu tuturkan berulang. Hanpir semua cerita tak cukup Ibu ceritakan sekali. Kami selalu meminta Ibu mengulanginya lagi. Kami tak bosan mendengar suara Ibu.
Dari berbagai literatur yang saya baca, Timun Mas memiliki beberapa versi cerita berbeda. Â Misalnya, pada penamaan nama tokoh ibu Timun Mas yang berbeda ,cerita pertemuan tokoh ibu dengan tokoh raksasa sampai cara Timun Mas lahir ke dunia.Â
Maklum, cerita rakyat pada mulanya diwariskan dengan cara dituturkan dari generasi ke generasi. Bisa jadi ada bagian cerita yang hilang sementara bagian lain bisa jadi bertambah. So far, tidak mengurangi inti dari cerita rakyat ini.
Cerita rakyat Timun Mas dimulai dari keinginan mbok Rondo memiliki anak. Hidupnya sepi dan sendiri sebab suaminya telah berpulang. Suatu hari ia bertemu raksasa yang bisa mengabulkan keinginan mbok Rondo. Syaratnya, jika anak yang lahir perempuan, mbok Rondo harus menyerahkan anak itu setelah dewasa. Mbok Rondo pun bersepakat.
Benar saja. Dari biji timun pemberian raksasa, lahirlah bayi perempuan cantik yang warna kulitnya berkilau kekuningan. Ia diberi nama Timun Mas. Bayi ini tidak tahu, esok besar  harus mengingkari janji ibunya agar ia bisa tetap hidup. Begitulah. Takdir kadang tidak memberikan kita pilihan.
Saya ingat, Ibu bertutur sambil bersenandung. Ibu menambahkan lirik lagu buatannya sendiri ke dalam cerita. Nadanya sungguh sedih. Senandung Ibu adalah tembang dalam bahasa Jawa. Mengisyaratkan pesan mbok Rondo pada Timun Mas.
Habislah kami di situ. Bukannya membayangkan perpisahan mbok Rondo dan Timun Mas, kami yang kanak-kanak ini justru ingat Ibu sendiri. Mana sanggup kami berpisah. Â Belum lagi membayangkan lari dari raksasa. Sesi ini selalu sukes menguras air mata kami.
Timun Mas pun berpetualang dikejar raksasa. Ia dibekali empat bungkus senjata dalam pelariannya. Yaitu biji timun, jarum, garam dan terasi.Â
Bagian ini selalu seru untuk diceritakan. Ibu menambahkan efek suara dramatis yang membuat kami larut dalam cerita. Sungguh, kami tak ingin Timun Mas tertangkap dimangsa raksasa.
Kini, berkisah menjadi salah satu aktivitas di rumah. Saya dan suami bergantian meneruskan tradisi ini. Menceritakan beragam kebaikan suatu kisah. Kadang bersumber dari buku tertentu. Selebihnya karangan kami sendiri. Cerita rakyat salah satunya.
Bercerita menjadi salah satu cara efektif menyisipkan pesan moral pada anak-anak. Â Bonusnya, aktivitas ini bisa membangun kelekatan hubungan antar personal. Tentu saja, kami akhirnya harus meng-upgrade kemampuan bercerita. Mengeksplorasi kisah dan mencoba satu dua suara.
Sebagai orangtua, kadang saya bosan mengulang cerita yang sama. Atau terlalu lelah untuk bercerita di malam hari. Sesekali saya mengusulkan agar anak-anak mendengar cerita melalui aplikasi musik. Teknologi diciptakan untuk memberikan kemudahan tapi tidak kelekatan.
Setiap mengingatkan kenangan indah Ibu bercerita, saya merasa lebih kuat. Momen tumbuh kembang masa kanak-kanak tidak akan terulang. Saya punya lebih banyak kesempatan mengasuhnya sekarang daripada kelak mereka dewasa nanti. Â Termasuk "mengasuh" hati dan sikap mereka hari ini.
"Cerita itu melembutkan hati." Begitu kata Ibu saya sore ini. Mungkin benar meski kadang menurut Ibu, saya bebal. Hahaha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H