Habislah kami di situ. Bukannya membayangkan perpisahan mbok Rondo dan Timun Mas, kami yang kanak-kanak ini justru ingat Ibu sendiri. Mana sanggup kami berpisah. Â Belum lagi membayangkan lari dari raksasa. Sesi ini selalu sukes menguras air mata kami.
Timun Mas pun berpetualang dikejar raksasa. Ia dibekali empat bungkus senjata dalam pelariannya. Yaitu biji timun, jarum, garam dan terasi.Â
Bagian ini selalu seru untuk diceritakan. Ibu menambahkan efek suara dramatis yang membuat kami larut dalam cerita. Sungguh, kami tak ingin Timun Mas tertangkap dimangsa raksasa.
Kini, berkisah menjadi salah satu aktivitas di rumah. Saya dan suami bergantian meneruskan tradisi ini. Menceritakan beragam kebaikan suatu kisah. Kadang bersumber dari buku tertentu. Selebihnya karangan kami sendiri. Cerita rakyat salah satunya.
Bercerita menjadi salah satu cara efektif menyisipkan pesan moral pada anak-anak. Â Bonusnya, aktivitas ini bisa membangun kelekatan hubungan antar personal. Tentu saja, kami akhirnya harus meng-upgrade kemampuan bercerita. Mengeksplorasi kisah dan mencoba satu dua suara.
Sebagai orangtua, kadang saya bosan mengulang cerita yang sama. Atau terlalu lelah untuk bercerita di malam hari. Sesekali saya mengusulkan agar anak-anak mendengar cerita melalui aplikasi musik. Teknologi diciptakan untuk memberikan kemudahan tapi tidak kelekatan.
Setiap mengingatkan kenangan indah Ibu bercerita, saya merasa lebih kuat. Momen tumbuh kembang masa kanak-kanak tidak akan terulang. Saya punya lebih banyak kesempatan mengasuhnya sekarang daripada kelak mereka dewasa nanti. Â Termasuk "mengasuh" hati dan sikap mereka hari ini.
"Cerita itu melembutkan hati." Begitu kata Ibu saya sore ini. Mungkin benar meski kadang menurut Ibu, saya bebal. Hahaha.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI