"Mi, aku tadi suapin Abi lho." Perempuan di samping saya berbisik pelan. "
Oh iya?" Tanya saya spontan. Dia mengangguk cepat. Ternyata, ia meniruku yang kapan hari menyuapi suami yang malas makan di depan layar.
"Tadi Teteh kan lagi makan roti, trus Teteh suapin Abi sekali." Perempuan 5 tahun ini kembali berbisik. Antara senang dan malu.Â
Konon, cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Harus ayahnya. Harus pula Ayahnya mencintainya sepenuh hati dan sikap.Â
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH) mengenai ayah dan kaitannya dengan keberanian anak melakukan seks bebas ditemukan bahwa apabila ayah tidak hadir dalam keluarga.
"Apabila ayah tidak hadir dalam keluarga, maka anak laki-laki akan menjadi nakal, agresif dan narkoba juga seks bebas. Anak perempuan akan depresi dan seks bebas," jelas psikolog Elly Risman.Â
Tidak mudah menghadirkan sosok ayah secara jiwa dan raga di rumah. Kesibukan para lelaki dewasa bekerja di luar rumah menjadi alasan utama. Mengubah kebiasaan dan pola asuh lama yang diterima para ayah di masa lalu dan menerapkan pola asuh baru menjadi tantangan bagi keluarga yang bertumbuh. Termasuk kami.Â
Hira dan Asya, adalah dua kandidat nama perempuan yang setahun ini selalu saya temui. Setiap hari. Tidak 24 jam tapi hampir seharian. Keduanya perempuan inspiratif tempat saya belajar menjadi ibu selain ibu kandung saya.
Minimal, ada 3 hal yang saya pelajari dari dua anak perempuan ini, yaitu :Â
1. Sabar dalam ucapan dan perbuatan.
Jika ada toko yang menjual paket kesabaran dalam mengasuh, mungkin saya salah satu ibu yang akan membelinya. Pekerjaan mengasuh bukan hanya membutuhkan fisik yang prima melainkan juga ilmu mengasuh dan kesabaran seluas samudera. Jangan tanya saya, samudera Hindia atau Atlantik yang dimaksud.
Sabar dalam ucapan artinya kita mencukupkan diri dengan perkataan yang baik saja. Apalagi saat marah. Sabar. Sebab ucapan ibu bisa jadi doa bagi anaknya. Kalau marah, doakan yang baik saja. Semoga terkabul.Â
2. Konsisten dalam membuat aturan
Di rumah, kami menerapkan jadwal pegang layar bersama. Sebab kebutuhan penggunaan layar pada anak perempuan kami di usia ini lebih banyak untuk hiburan. Kami memilih memperbanyak aktivitas fisik daripada di depan televisi, laptop atau gadget.Â
Apakah keduanya sering protes? Tentu. Mereka kerap meminta jatah waktu tambahan pegang gadget. Sebagai ibu, saya ditraining anak agar konsisten dengan kesepakatan yang kami buat di awal.
Lama-lama mereka akan paham, sekeras apapun menangis tidak akan menambah jam layar mereka. Sebab berlayar bukan obat menangis. Mereka boleh menangis jika sedih. Di lain waktu saat mereka good mood, saya ingatkan soal kesepakatan kami.Â
3. Berbicara lemah lembutÂ
Yang ketiga ini saya pelajari saat keduanya bersikap pada ayahnya. Lihat saja bagaimana keduanya bercerita dan bersikap manis dan respon ayahnya pada mereka.Ternyata rahasianya adalah pada ucapan yang lemah dan lembut.
dr Aisyah Dahlan menjelaskan bahwa hipotalamus dalam otak laki-laki lebih lebar 2,5 kali dibandingkan perempuan. Salah satu fungsi hipotalamus pada laki-laki berkaitan dengan respon mereka menjaga keamanan.
"Laki-laki jaga keamanannya lebih hebat dibanding perempuan, karena hipotalamusnya lebih lebar. Jika istri berbicara manja kayak gadis kecil gitu yang selalu ingin dilindungi, laki-laki ngerasa 'gue kepake'. Tapi kalo istri terlalu mandiri suaranya laki-laki berpikir 'saya ngapain ngelindungin orang yang mandiri gini'. Itu bawah sadar," terang dr Aisyah Dahlan.Â
Nah, sekarang ketemu kan rahasia yang saya amati dari percakapan kedua anak perempuan ini pada ayahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H