Negara Korea Selatan pasti sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kalian. Negara maju tersebut semakin dikenal oleh masyarakat luar karena musik dan dramanya. Namun, beberapa waktu lalu sempat muncul trending tagar #cancelkorea di media sosial.
Awal kemunculan tagar tersebut karena adanya kasus Bella Poarch, tiktokers asal Filipina yang menggunakan tato yang bergambar bendera matahari terbit dari Jepang. Dalam satu video Bella, tato tersebut sempat terlihat dan menarik perhatian netizen, terutama netizen Korea.
Melihat tato tersebut, terdapat salah satu netizen Korea yang tersinggung dan langsung mengomentari video tersebut dengan memberikan banyak komentar negatif. Dengan adanya komentar-komentar tersebut, akhirnya Bella pun meminta maaf karena telah menggunakan tato tanpa mengetahui makna dibalik lambang bendera tersebut dan akhirnya menutupi tatonya dengan lambang lainnya.
Baca juga: Persepsi, Kolonialis dan Imperialis, Dijajah Inggris Lebih Baik Ketimbang Belanda?
Namun, walaupun Bella sudah meminta maaf tetap saja ada beberapa netizen Korea yang masih membullynya dan bahkan menyebut Bella rasis, tidak hanya Bella namun hampir seluruh negara di Asia Tenggara terkena dampaknya juga, terutama Filipina.
Berdasarkan kasus Bella Poarch, dapat dilihat melalui dimensi Hofstede serta Kluckhohn dan Strodbeck. Apabila dilihat dari dimesi Hofstede, netizen Korea ini menunjukkan adanya pengaruh kekuasaan, yakni kekuasaan tinggi. Menurut Samovar, baik secara sadar maupun tidak, budaya-budaya ini mengajarkan kepada anggotanya bahwa orang tidak setara di dunia ini dan setiap orang memiliki tempat yang layak dan ditandai oleh hierarki masyarakat yang tak terhitung jumlahnya, seringkali didasarkan pada beberapa faktor seperti nama keluarga, pendidikan, usia, profesi, maupun posisi organisasi (Samovar, Porter, McDaniel, & Roy, 2017, p. 227).
Hal ini dapat dilihat dari cara netizen Korea yang berkomentar sesuatu hal yang kurang baik terhadap negara lain, terutama Asia Tenggara. Beberapa netizen Korea menganggap negaranya lebih superior karena negara mereka pun termasuk negara maju dibandingkan negara yang ada di Asia Tenggara yang rata-rata merupakan negara berkembang, kecuali Singapura.
Baca juga: Rasisme di Era Kolonial dan Era Modern
Selain itu, ditemukan juga komentar yang dituliskan oleh orang Korea yang ditujukan pada Asia Tenggara yakni "poor country, not educated people, short people" dan tidak jarang juga negara Asia Tenggara disebut rasis. Hal inilah yang menyebabkan adanya tagar #cancelkorea tersebut karena masyarakat yang berada di Asia Tenggara tidak negara tidak terima negaranya direndahkan seperti itu.
Beberapa faktor inilah yang menunjukkan bahwa mereka menggunakan budaya berdasarkan kekuasaan tinggi dan sesuai dengan pernyataan dimana atasan menganggap bawahannya berbeda dari dirinya sendiri dan juga sebaliknya. Namun, perlu diingat bahwa tidak semua orang Korea berpikiran hal yang serupa.
Selain menggunakan dimensi Hofstede yang kekuasaan tinggi, melihat kasus Bella tersebut menunjukkan bahwa netizen Korea juga menggunakan dimensi Kluckhohn dan Strodbeck yang Time Orientation, terutama past orientation. Dalam Samovar, dijelaskan bahwa dalam budaya yang berorientasi pada masa lalu, hal yang sangat penting adalah sejarah, agama, dan tradisi budaya (Samovar, Porter, McDaniel, & Roy, 2017, p. 218).
Baca juga: Pahitnya Inlander: Mindset Warisan Kolonial
Hal ini ditunjukkan pada sikap dan tanggapan netizen Korea yang melihat bendera matahari terbit dari Jepang. Netizen Korea sangat berorientasi pada masa lalu, terutama melihat sejarah dari Korea Selatan. Faktor yang membuat netizen Korea mengkritik Bella adalah bendera Jepang yang digambarkan pada lengannya tersebut ternyata merupakan bendera yang digunakan ketika imperialis Jepang menjajah Korea. Banyak orang Korea Selatan mengaitkan bendera matahari tersebut dengan perang dan penindasan.
Beberapa faktor tersebutlah yang membuat netizen Korea sensitif terhadap suatu hal yang berhubungan dengan Jepang. Dengan melihat respon dari netizen Korea terhadap bendera matahari tersebut menunjukkan bahwa netizen Korea belum bisa melupakan masa kelam selama negara Korea Selatan dijajah oleh Jepang. Oleh sebab itulah, mereka sangat berorientasi pada masa lalu dan sangat bertumpu pada sejarah yang ada.
Samovar, L. A., Porter, R. A., McDaniel, E. R., & Roy, C. S. (2017). Communication Between Cultures. Boston: Cengage Learning.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H