Pada kontekstualisasi Cinta sering kali menjadi bahan pokok dalam kegairahan pada anak muda milenial, kali ini yang saya angkat adalah kehidupan Filsafat Cinta dan Problematika terhadap Anak Muda Milenial dalam prespektif Erich Fromm dan Jalaluddin Rumi. Dalam setiap kegairahan tersebut memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah melahirkan rasa semangat yang membara, melahirkan pelayanan yang terbaik, dan dapat melahirkan rasa percaya diri. Namun, pada dampak negatifnya adalah menimbul rasa gelisah yang berlebih, menimbulkan rasa kecewa, dan efek yang paling parah adalah menimbulkan rasa kebosenan untuk hidup. Jika dikaji dalam psikologi dampak negatifnya adalah menimbul gejala gangguan kejiwaan, alhasil berujung pada gila dan bunuh diri karena tidak bisa menghilangkan rasa cinta yang dulu, atau secara bahasa dapat dikatakan sebagai “Gagal Move on”
Sebelum membahas lebih lanjut, kita harus mengetahui terlebih dahulu pengertian Cinta, apa itu cinta? Mana yang lebih penting dari mencintai atau dicintai? Pertanyaan tersebut seringkali terdengar oleh telinga kita, biasanya terdengar pada orang yang sedang menjalin hubungan cinta/asmara. Dan “mungkin” saja sangat mudah dalam menjawab pertanyaan yang mendasar tersebut, iyah mudah untuk diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan yang menjadi nyata dalam kehidupan terhadap efek cinta tersebut. Kebanyakan manusia lebih dominan ketika menilai dalam mendefinisikan cinta adalah sebagai rasa suka, rasa kasih dan sayang, rasa menyukai terhadap orang yang dicintai, terhadap segala sesuatu, dan yang bersifat secara tiba-tiba, anugerah, dan pasif. Padahal hakekat cinta yang sesungguhnya itu bersifat aktif bukan pasif, karena harus berusaha, harus bergerak, dan harus diperjuangkan dalam meraih hakekat cinta yang sesungguhnya.
Akan tetapi, menurut Erich Fromm bahwa, cinta adalah seni, dalam memahami cinta adalah seni langkah pertama yang harus dilakukan adalah memahami apa itu cinta, lalu yang kedua adalah menghadirkan makna cinta dalam tindakannya pada kehidupan sehari-hari, yang sering disebut sebagai praktek pada realitas. Dari penjelasan Erich Fromm tersebut dapat menggambarkan bahwasanya, aspek yang terpenting adalah “Bagaimana caranya dalam mencintai yang baik” bukan pada aspek “apa yang hendak untuk dicintai” secara istilah dalam kalimat bahasa yang sering didengar adalah bukan pada konteks “jatuh cinta” tetapi “bagaimana caranya dalam mendirikan cinta”. Pada konteks cinta itu harus dipikirkan dan direnungkan kembali secara radikal, apakah benar ini merupakan rasa cinta yang sesungguhnya bersifat permanent atau hanya bersifat temporal belaka?
Cinta itu bukan suatu urusan apa yang hendak menjadi objek/subjek dicintai, akan tetapi bagaimana caranya untuk bisa mencintai yang baik itu, dengan cara berperilakulah sebagai orang pecinta yakni mencintai secara benar, kemudian dengan tanpa disadari segala sesuatu akan menjadi layak untuk dicintai, namun apabila kita fokus pada hal yang layak untuk dicintai akan menimbulkan suatu pilihan yang mutlak, pilihan yang konkret, alhasil yah pilih-pilih objek yang ingin dicintai dan itupun juga berlaku terhadap subjektif pasangan terhadap lawan jenis, dimana sering dikatakan sebagai terlalu memandang fisik, materi, ketimbang esensi dari hati sehingga dapat dinilai oleh orang lain adalah bernilai dalam sifat yang egois.
Dalam permasalahan pertama terhadap anak muda milenial yaitu kebanyakan anak milenial yang mencintai seseorang tetapi ia tidak sadar bahwa ia telah merusak hubungan orang yang dicintai atas dasar rasa cemburu ataupun juga bisa sebaliknya yakni merusak dirinya sendiri sebagai yang awal dalam mencintai. Namun, ada suatu hal yang sering dikeluhkan pada anak muda milenial mengenai cinta adalah kekasihnya kurang berjuang, kurang mencintai, terlalu posesif, dan kurang tulus atau juga dalam hal kurang pengertian(saling mengerti/saling melengkapi). Alhasil, meninggalkan kekasihnya tanpa ada alasan yang masuk akal. Dalam keluhan tersebutlah mungkin saja berefek fatal yakni bunuh diri. Dalam hal tersebut dapat disimpulkan bahwa, hakekat cinta yang sesungguhnya itu bersifat aktif bukan pasif, karena harus berusaha, harus bergerak, dan harus diperjuangkan dan saling melengkapi dalam meraih hakekat cinta yang sesungguhnya.
Menurut para Filsuf dan seorang ilmuan pun yang telah jauh mengatakan bahwa, relasi yang memiliki keagungan antara manusia adalah cinta, dan itupun telah jauh diutarakan sejak lahirnya filsafat oleh para filosof Yunani Kuno, seperti halnya Filosof Socrates yang telah mengajarkan, arti dalam mencintai kebijaksanaan terhadap orang yang diajak bicara disekitar Athena, dan murid dari Socrates yakni Filosof Plato pun mengatakan bahwa, dunia itu berputar yang telah disebabkan adanya suatu sifat cinta dari Tuhan/Dewa, kalau tidak ada cinta dunia pun akan berhenti total, akan hancur lebur. Cintalah yang membuat alam semesta ini bergerak. Nah, dengan adanya cinta, alam semesta menjadi bersatu dan berpisah
Dalam permasalahan kedua terhadap anak muda milenial adalah kebanyakan orang pada akhirnya akan menyadari bahwa betapa dalamnya rasa cinta yang engkau simpan untuk dia, mungkin pada saat ini dia hanya berpura-pura saja atau yang lebih parahnya lagi tidak mau tahu sama sekali. Namun, ada yang menyerah ketika diabaikan rasa cintanya dan adapula yang masih terus diperjuangkan, dipertahankan meskipun tidak dipedulikan sama sekali. Dapat dikatakan sebagai, “cinta itu buta”. Yah, cinta yang membutakan segalanya. Menurut saya sebagai penulis mengungkapkan hasil refleksi pikiran yang berdasarkan atas pengamatan subjektif terhadap pasangan lawan jenis yang sering dikeluh kesahkan, bahwa Cinta itu bukan hanya sekedar dalam hal Metafisika (yang tidak berwujud tetapi dapat dirasakan melalui hati/batin) melainkan juga dalam hal Empiris (yang harus dibuktikan secara nyata, yang terpanca indera), dan cinta itu bukan dalam hal Saintifik sebab cinta tidak memiliki tolak ukur/ukuran yang mutlak. Nah, dari sinilah muncul suatu pertanyaan “bisakah kita mengukur kedalaman cinta pada seseorang?” jawabannya adalah Tidak bisa, sebab kedalaman pada rasa cinta itu tak terhingga. Yah Bisa saja kita mengukur terhadap kedalaman cinta tersebut, tetapi itu bukanlah sebuah hasil ukuran yang konkret, yang sesungguhnya.
Dalam kontekstualisasi cinta dalam prespektif Jalaluddin Rumi berbeda jauh dengan prespektif Erich Fromm. Pada Konteks filsafat cinta dalam prespektif Jalaluddin Rumi lebih condong bersifat Sufistik. Dimana Rumi mengaktualisasikan, merealisasikan rasa cinta tersebut berpusat kepada sang pencipta (Al-Khalq). Menurut Rumi, Cinta itu Universal, sebab cinta itu dimiliki pada karakter disetiap semua orang, terhadap agama apapun, dan dari budaya apapun disetiap berbagai daerah. Semuanya menganggap cinta itu bersifat luhur dan baik. Apabila kita mencintai seseorang pasti menganggap bahwa dia cantik/ dia ganteng, mustahil kita memiliki rasa cinta lalu berpandangan bahwa dia tidak cantik/ dia tidak ganteng, kecuali dalam konteks Duniawi.
Cinta itu sebagai obat, yah bisa menjadi berbagai hal. Misalnya, obat dari kesombongan, obat dari kekurangan/kelemahan, dan bisa jadi obat atas duka cita. Cinta itu bagaikan rasa ikhlas. Sebab, apabila seseorang yang berhubungan dengan sesuatu namun ia tidak memiliki rasa pamrih sedikitpun dalam hal apapun selain untuk orang yang dicintai. Saya akan kutip contoh rasa cinta ibu kepada anaknya, dimana senantiasa ibu kita selalu ikhlas, sabar, bahagia, berkorban dan menyayangi anaknya dengan sepenuh hati. Dapat dikatakan sebagai kasih ibu tak terhingga sepanjang masa kepada anaknya.
Menurut Jalaluddin Rumi pada contoh yang saya kutip tersebut, cinta yang seperti itu dapat melatih jiwa, sehingga menjadikan jiwa tidak menjadi sombong. Namun, jiwa seorang pecinta adalah jiwa yang senantiasa rendah hati. Sebab, ia tidak terlalu berpikir tentang dirinya, apabila seseorang yang merasa dirinya sebagai pecinta akan tetapi masih memiliki sifat sombong. Nah kalau dalam hal tersebut Rumi mengatakan bahwa, berarti ia belum lulus, ia harus perlu latihan lagi dan dilatih lagi sampai tidak memiliki sifat sombong. Jiwa seorang pecinta itu memiliki jiwa yang kuat, jiwa yang kuat dalam hal ini memiliki arti adalah sebagai jiwa yang senantiasa ingin memberi, tidak ingin meminta dengan balasan apapun (tanpa pamrih).
Pertemuan dan perpisahan sering ditemukan karena adanya yang disebabkan dari cinta. Oleh karena itu, cinta telah menggerakkan alam semesta ini. seperti apa yang telah dikatakan Plato. Disetiap petemuan pasti ada perpisahan. Apabila kita cinta pada apapun itu, kemudian karakter kita akan berubah yakni akan semakin menuhan dalam artian semakin menjadi spiritual. Dari penjelasan karakter berubah menjadi spiritual menurut Jalaluddin Rumi tersebut dapat dikatakan bahwa, ciri yang sejatinya dari cinta itu melekat pada rasa ikhlas dan tulus terhadap sang pencipta(Al-Khalq). Contohnya, Apabila kita beribadah baik itu sholat, dzikir, dsb. Pasti ada tujuan dalam target yang ingin dicapai adalah untuk memperoleh keridhoan-Nya. Apabila kita cinta pada seseorang yang lawan jenis, dalam bentuk apa saja perwujudan dari tindakan kita yang dapat menimbulkan sifat romantism tersebut, dan dalam bentuk ekspresi apa saja pasti lahir karena disebabkan cinta yang tulus dan baik.