D.Pembahasan.
Pada dasarnya musibah seperti wabah covid-19, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor merupakan sebagai salah satu bentuk ujian yang diberikan oleh Tuhan kepada hamba-Nya yang senantiasa beriman dan selalu bersyukur. Sama halnya dengan, tragedi wabah covid-19 yang telah memasuki Indonesia pada tahun 2020 silam. Oleh karena itu, keimanan seorang hamba kepada Tuhan dapat diakui keteguhannya bilamana telah mendapatkan serta menjalani ujian yang berat ataupun ringan dengan cara menikmati, menjalani, dan menerima dengan legowo (ikhlas/lapang dada).
Wabah covid-19 sudah meresahkan warga dunia dan sekaligus mengguncangkan tatanan dunia ini. yang ditimbulkan dari efek adanya corona ini tidak hanya membuat suatu penjagaan yang ketat terhadap kesehatan tetapi juga menata ulang atas pergaulan sosial. Penularan corona dapat terjadi melalui kerumunan massa, tidak memakai masker, dsb. Kita telah mengetahui bahwa, secara individualitas dipaksa keras untuk selalu memakai masker, menggunakan hand sanitizer, cuci tangan secara berkala, dan menjaga kestabilan imunitas manusia. Namun, jika pandangan secara sosial bahwa, diwajibkan untuk menjaga jarak saat bertatap muka/melakukan suatu pertemuan fisik, dilarangnya bersentuhan saat berjabat tangan, menjauhi kerumunan, ritual peribadatan dilarang hingga ada yang lebih condong ditiadakan untuk sementara.
Namun, disisi lain sebagian orang menafsirkan bahwa, virus corona yang diturunkan oleh Tuhan sebagai bentuk azab kepada orang-orang kafir, penutupan masjid sebagai wujud pembangkangan atas syariat, mengganti "takut kepada Tuhan" dengan "takut kepada corona". Apa yang orang tafsirkan tersebut lebih condong ke ranah yang bersifat keburukan yang diberikan Tuhan.
Dalam dunia agama islam, probelmatika yang berkaitan Teodisi dengan wabah covid-19, bencana, keberadaan Dzat kuasa, dan Dzat kasih sayang Tuhan juga diperbincangkan diberbagai aliran yakni diantaranya aliran Muktazilah, Asyariyah, dan Syiah. Menurut aliran Mu'tazilah menolak secara mentah-mentah atas pernyataan terhadap ketidakadilan Tuhan melalui wabah, bencana, penyakit dikarena sifat azali Tuhan yakni Maha Adil. Oleh sebab itu aliran Mu'tazilah berkeyakinan bahwa, meskipun itu nampak buruk dimata manusia, sejatinya nampak ada sisi kebaikan dimata Tuhan kepada manusia. Pada aliran Asyariyah menganggap bahwa, bukti terjadinya suatu bencana didunia adalah sebagai wujud kuasa Tuhan bukan pada keadilan Tuhan, sehingga kesengsaraan yang datang melalui wasilah wabah yang menimpa manusia adalah keinginan Tuhan itu sendiri yang bersifat keadilan kepada semua ciptaan-Nya. Adapun menurut aliran Syiah bahwa, Eksistensi Tuhan adalah kebaikan yang bersifat absolut yakni wajib ada, di mana yang berarti bahwa kesempurnaan hanya milik Tuhan maka selain Tuhan terdapat kekurangan. Oleh karena itu, bencana wabah sebagai bentuk konsekuensi yang logis atas sifat kekurangan yang dimiliki oleh setiap makhluk.
Problematika teodisi pertama kali muncul ketika kita melihat fenomena berbagai macam keburukan, penderitaan, kemiskinan, wabah, dan penyakit yang telah banyak sekali menelan korban jiwa. Bencana alam (gempa, longsor, tsunami) dan wabah covid-19 yang lebih dahsyat dampaknya khususnya manusia yang tak berdosa yang menjadi korban atas hal tersebut. Sehingga dapat memicu adanya munculnya suatu pertanyaan mengenai kasih sayang Tuhan bahwa, mengapa Tuhan yang Maha Kuasa, Pengasih, dan Penyayang membiarkan begitu saja adanya wabah covid-19 tetap eksis hingga sekarang yang telah banyak menelan korban jiwa dan diselimuti berbagai macam penderitaan baik dari segi akademis, ekonomis, dan sosialis? Mengapa Tuhan yang Maha Penyayang membiarkan atau malah menciptakan keburukan? Apa jangan-jangan, Dia tidak Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah kita ketahui dan kita kira? Atau juga bisa jadi, Dia itu Maha Penyayang namun tak Maha Kuasa? Oleh karena itu, nyatanya manusia ditimpa bencana wabah, dan adanya kesengsaraan, kemiskinan maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa, Tuhan tidak mungkin Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah kira.
Adapun pendapat dari filosof terkait keburukan, kesengsaraan, dan keadilan Tuhan sebagai berikut: menurut pandangan sang hujjatul islam yakni Imam Al-Ghazali bahwa, penciptaan alam semesta dirancang atas kehendak Tuhan, maka manusia wajib seutuhnya yakin dari segala kemungkinan yang ada. Tragedi keburukan yang ada, bencana, dan kesengsaraan sebagai wujud instrument atas ujian Tuhan kepada manusia atas keyakinan mengenai Kuasa Tuhan agar bisa memperoleh kesempurnaan dalam spiritualitas. Kemudian menurut Jalaluddin Rumi bahwa, ujian dan cobaan sebagai wadah penyucian jiwa (Tazkiyat al-Nafs) yakni lebih membebaskan dirinya atas kesibukan pada dunia yang berdasarkan cinta ilahiah (cinta kepada Tuhan) yang bermaksud sebagai bentuk panggilan manusia agar dapat mencapai suatu kebaikan.
Banyak jawaban atas pertanyaan tersebut yang mencoba untuk disampaikan yakni sejak manusia tersebut mulai berpikir hingga kini, terkhusus termasuk juga oleh filosof Ibn Arabi. di mana Ibn Arabi mencoba memberikan tanggapan atas jawabannya terkait teodisi ini. Pertama, bahwa sesungguhnya apa yang disebut keburukan itu tidalah benar adanya/wujud. Nah, yang nampak sebagai hal-hal yang berifat keburukan itu sejatinya adalah kekurangan dalam kesempurnaan atas kebaikan yang diberi oleh Tuhan. misalnya, tunarungu, buta, sakit, kebodohan itu semua merupakan kurangnya kemampuan indra pendengaran, penglihatan, kesehatan, dan kemampuan berpikir.
Adanya kekurangan dalam kesempurnaan atas kebaikan yang diberi Tuhan terkait dengan realitas ini bahwa, manusia dan alam semesta itu selebihnya bukanlah wujud-wujud mutlak, yang wujud mutlak hanya milik Tuhan itu sendiri yang menjadikan kesempurnaan dan mutlak itu pula. Oleh karena itu, manusia hanyalah campuran antara kebaikan dan kekurangan itu. Kekurangan ini bersumber dari wujud yang telah tercemari oleh ketiadaan, yang mana ketiadaan adalah suatu bentuk konsekuensi dari adanya kadar keterpisahannya dari Tuhan. Maka, apabila makin menyatukan diri dengan Tuhan, makin sedikit pula kadar kekurangannya tersebut sehingga makin dekat kesempurnaan atas kebaikannya. sebab, yang dimaksud ketiadaan/kekurangan (nonexistence, nothingness, non being) maka keburukan itu tidak membutuhkan sumper pencipta, karena hakekat penciptaan selalu berhubungan dengan keberadaan (existence, being). Maka pendapat yang pertama ini dapat disimpulkan bahwa Tuhan tidak menciptakan segala sesuatu yang bersifat keburukan.
Kedua, analisis dari sudut pandang penderita, bahwa yang terjadi dan terkena ditimpa suatu musibah Covid-19 ini seringkali dianggap sebagai keburukan yang diberikan oleh Tuhan, seperti pada pertanyaan diatas yang berkaitan dengan kasih sayang Tuhan. Apa yang nampak sebagai keburukan itu sejatinya/sesungguhnya adalah kebaikan cara Tuhan memberikan capaian kebahagiaan tertinggi pada hamba-Nya. Bahwa keburukan itu merupakan kebaikan atas karunia pemberian Tuhan yang bersumber dari Kasing Sayang-Nya, sehingga tersamarkan sebagai bentuk keburukan agar menjadikan manusia lebih tangguh, kuat iman, sabar menjalani kehidupan dengan adanya ujian dan cobaan.
E.Kesimpulan.