Kebuntuan ini terlihat, dari 13 hasil imbang di 20 pertandingan, dengan tim sering dibuat kesulitan, saat lawan bermain defensif. Di sisi lain, Juve juga masih beradaptasi dengan formasi 4 bek ala Motta, setelah sebelumnya cukup akrab dengan formasi tiga bek tengah selama bertahun-tahun.Â
Di sisi lain masalah performa Juventus di musim 2024-2025, khususnya di liga domestik, menunjukkan, ide taktik modern dan sepak bola menyerang tampak masih belum cocok dengan budaya khas "calcio" yang menekankan permainan disiplin saat bertahan, tapi efektif dalam meraih hasil akhir.
Sebelum Motta datang, ide serupa juga pernah dicoba rival sekota Torino, saat dilatih Maurizio Sarri dan Andrea Pirlo, antara tahun 2019-2021. Meski menghasilkan satu Scudetto dan satu trofi Coppa Italia, gaya taktik modern yang dihadirkan kedua pelatih ini terbilang gagal, karena dukungan yang diberikan manajemen klub tidak maksimal.
Uniknya, kedua pelatih ini datang setelah periode pertama Massimiliano Allegri tuntas, sebelum akhirnya digantikan lagi oleh Massimiliano Allegri.
Jika manajemen Juventus bisa cukup bersabar, dan klub bisa meraih prestasi bersama Motta, berarti, ada harapan gaya main cantik dan prestasi bisa seiring sejalan di Allianz Stadium. Jika ternyata (kembali) gagal, berarti mereka memang harus memilih salah satu: antara bermain cantik tapi kering prestasi, atau panen prestasi tapi kering kreativitas.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H