PSSI dan para petingginya mungkin punya alasan sendiri, tapi kalau mereka tidak paham situasi, mengganti pelatih dalam situasi seperti sekarang rawan berdampak fatal.
Bulan Maret 2025, ada partai lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026 lawan Australia dan Bahrain, yang akan menentukan.
Dengan kekompakan tim yang mulai terbentuk, mengganti pelatih hanya karena alasan gagal di Piala AFF, rasanya terdengar konyol.
Tim Garuda masih punya kesempatan lolos ke Piala Dunia 2026, dan menjadi tim Asia Tenggara pertama yang sudah lolos ke Piala Asia 2027.
Kenapa dua progres "level Asia" ini harus "dikorbankan", hanya karena satu turnamen "tak resmi" di tingkat Asia Tenggara? Sepenting itukah?
Padahal, kalau dicermati lagi, meski bisa menambah perolehan poin di ranking FIFA, glorifikasi berlebihan pada turnamen dua tahunan ini adalah satu wujud logika terbalik. Apalagi, proses ini sudah berjalan selama kurang lebih lima tahun.
Sudah ada progres pada level di atasnya, kenapa malah ingin turun lagi?
Di sisi lain, langkah pergantian pelatih mendadak seperti ini juga memperlihatkan indikasi tidak sehat, karena ada ekspektasi tinggi, tapi ada keengganan untuk maju secara serius. Ini sudah lama ada dan menggejala di sepak bola nasional.
Kalau kecenderungan ini jelek ini masih diteruskan, maka tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari Tim Garuda di masa depan, karena budaya dan perilaku di federasinya serba tidak sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H