Meski terlihat berbeda dengan pendekatan umum pada disabilitas, yang pada kasus tertentu dikelompokkan dengan "sesama" difabel, pendekatan ini perlu dibiasakan, supaya nilai inklusif yang diupayakan bisa benar-benar terwujud.Â
Dengan demikian, kondisi disabilitas seorang difabel akan dilihat sebagai satu bentuk lain sebuah kenormalan, karena ada situasi saling menyesuaikan yang selaras di sini. Jadi, "memanusiakan manusia" bisa benar-benar diwujudkan secara natural.Â
Secara pribadi, contoh ini saya temui, antara lain dalam kegiatan saya berkomunitas di Kompasiana. Ini menjadi satu hal yang bisa "dibangun" juga dalam program Pemuda Malaka Berdaya DigitalÂ
Selama kurang lebih delapan tahun ber-Kompasiana, kondisi fisik saya yang "kurang" akibat kelainan syaraf motorik bawaan menjadi faktor kesekian yang dilihat. Ada penerimaan yang menghadirkan rasa nyaman, plus nyali ekstra untuk (setidaknya) berekspresi, dan ikut membaur dengan komunitas, sebagai diri sendiri.
Meski sekilas sederhana, hal-hal mendasar seperti ini akan sangat membantu jika dibiasakan. Dengan sisi inklusif dalam sifat lintas batas ruang digital, akan aneh jika sisi inklusif itu tidak "dihidupi" juga sebagai satu budaya, dalam satu wadah yang ingin membangun kesadaran soal disabilitas.
Selama kesadaran disabilitas hanya dipandang sebagai suatu isu di ruang inklusif, tanpa ada inklusivitas yang hidup, ini hanya akan berakhir menjadi sebuah ide keren yang buntu, karena upaya "memanusiakan manusia" yang ada tidak benar-benar menjangkau semua yang mungkin terlibat, termasuk mereka yang kadang terlupakan, hanya karena terlihat "berbeda".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H