Seiring mekarnya era globalisasi yang bersifat lintas batas, ruang digital menghadirkan sebuah potensi menarik, karena menjadi wujud nyata sifat lintas batas tersebut. Semua orang, dimanapun berada, bisa mengakses ruang ini, selama ada koneksi internet.Â
Menariknya, sifat lintas batas ini juga punya potensi lain, berupa sisi inklusif, karena ruang digital juga dapat diakses mereka yang berkebutuhan khusus secara fisik.Â
Dalam hal ini, saya sendiri, sebagai seorang penyandang disabilitas fisik, adalah satu (dari sekian banyak contoh) yang cukup bisa menikmati sisi inklusif ruang digital.Â
Ruang digital memberi saya ruang bebas untuk berekspresi dalam tulisan, seperti yang Anda baca sekarang, berinteraksi di media sosial, bahkan melakukan aktivitas seperti memakai moda transportasi online atau belanja online.Â
Jadi, ketika ada program seperti Pemuda Malaka Berdaya Digital yang notabene merupakan 'Pilot Project' dari Tim Fasil Dayan Gunung Berdaya, yang antara lain membahas soal kesadaran disabilitas, saya merasa perlu untuk sedikit memberi masukan, dalam sudut pandang sebagai seorang difabel.Â
Kebetulan, sifat inklusif ruang digital sedikit banyak mampu menghadirkan sisi inklusif, karena mampu "mengaburkan" sisi dikotomis, antara mereka yang "normal" dan "terbatas" secara fisik. Dalam artian, kondisi fisik menjadi hal kesekian yang dilihat, setelah kualitas hasil karya, kemampuan, bakat, dan sejenisnya.Â
Jujur saja, sisi inklusif ini cukup melegakan, karena menghadirkan ruang bebas, yang membuat penyandang disabilitas tak lagi dilihat sebagai "orang sakit" atau "tidak berdaya".Â
Maka, perlu ada cara pandang serupa, agar  program ini bisa membangun kesadaran soal posisi "setara" disabilitas, tanpa membuat mereka merasa "berbeda", "inferior" atau semacamnya.Â
Cara pandang ini adalah satu cara alami, untuk membangun kepercayaan diri seorang difabel, sekaligus membangun kesadaran kolektif orang-orang "normal" di sekitarnya.Â
Tanpa harus memberi motivasi atau membahas budaya inklusif sampai berbusa-busa, seorang difabel yang diizinkan bebas membaur sebagai diri sendiri, secara natural bisa mendapatkan "alasan mendasar" yang membuat mereka mau (dan mampu) berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Usaha inilah, yang biasanya  mendorong lingkungan tersebut ikut menyesuaikan diri secara natural, dengan kondisi sang difabel.