Apalagi, kalau misalnya Timnas Indonesia tampil di Piala Dunia 2026. Ada satu rasa kebanggaan tersendiri, yang jauh berbeda dibandingkan saat menonton aksi klub kesayangan.Â
Jadi, akan terasa aneh, ketika klub dibuat punya turnamen empat tahunan seperti Euro atau Piala Dunia. Apalagi, kalau turnamen itu tidak punya daya tarik kuat sejak lama.
Di sisi lain, keberadaan turnamen seperti Piala Dunia Antarklub (versi 32 tim) juga memperlihatkan satu sisi egois FIFA, karena mereka tidak memberi "masa jeda" buat penonton. Demi pemasukan lebih banyak, mereka tak peduli dengan ancaman rasa jenuh, yang bisa saja dialami fans.
Padahal, seperti halnya para pemain yang butuh liburan, para penonton pun ada saatnya "libur" menonton pertandingan sepak bola, misalnya karena ada pekerjaan atau hal lain yang harus dilakukan.
Disadari atau tidak, adanya tahun kosong tanpa turnamen mayor adalah satu kesempatan, yang biasa dimanfaatkan fans, untuk "mengisi baterai". Fungsinya sama seperti jeda pramusim buat para pemain.
Ada saatnya mereka "istirahat", supaya punya cukup energi dan antusiasme, saat musim baru datang. Seperti ponsel yang ada saatnya harus diisi daya, saat baterainya mulai loyo, setelah digunakan dalam waktu cukup lama.
Jika masa jeda yang berharga ini digerus dengan turnamen seperti Piala Dunia Antarklub, jangan salahkan pecinta sepak bola, kalau suatu saat mereka merasa jenuh, karena tidak punya cukup waktu mengisi ulang antusiasme. Apalagi, kalau turnamen ini adalah tontonan berbayar.
Sepak bola di era industri telah menjadi satu mesin uang raksasa, dengan nilai keuntungan yang makin lama makin besar. Tapi, ketika rasa suka dan antusiasme hanya dilihat sebagai variabel penghasil uang, itu sangat menyakitkan, dan rawan menciptakan rasa jenuh, karena tidak ada respek terhadap perasaan manusia, yang terlibat di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H