Padahal, tidak punya kekayaan melimpah dan jabatan tinggi bukan sebuah dosa. Itu baru pandangan soal kekayaan dan jabatan, belum termasuk "omongan" lain yang tidak seharusnya diucapkan.
Kalau si pengkhotbah memposisikan diri sebagai motivator atau posisi "duniawi" lainnya, silakan bicara seperti itu sampai puas. Tapi, kalau posisinya sebagai tokoh agama, sudah seharusnya aspek spiritual dikedepankan, bukan aspek duniawi.
Jadi, ketika insiden blunder Gus Miftah belakangan viral, ini menjadi satu refleksi saya juga sebagai warga gereja, karena tipikal tokoh dan permasalahan seperti ini sebenarnya juga ada di gereja, khususnya gereja aliran kontemporer.
Karena dampaknya yang bisa langsung meluas di masyarakat, sudah saatnya pemerintah mulai menerapkan standar baku, untuk memfilter figur tokoh agama  (termasuk dari segi latar belakang pendidikan formal).
Meski terkesan remeh, standarisasi baku seperti ini diperlukan, supaya masyarakat bisa punya sosok tokoh agama yang layak jadi panutan, dan memang punya kompetensi sesuai. Jadi, perilaku dan ajaran yang dihadirkan akan lebih konstruktif.
Dengan sisi religius yang kuat di masyarakat Indonesia, dan masih belum meratanya akses pendidikan, keberadaan tokoh agama yang kompeten menjadi satu bagian penting, dalam membangun karakter masyarakat.
Kalau sosok panutannya baik, dampaknya di masyarakat pasti akan baik juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H