Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kasus Gus Miftah: Sebuah Refleksi "Beda Server"

6 Desember 2024   23:58 Diperbarui: 7 Desember 2024   00:01 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kegaduhan menyusul blunder kata-kata Gus Miftah pada penjual es teh yang belakangan viral, menjadi satu hal yang banyak dibahas, entah di media mainstream maupun media sosial.

Dampaknya pun luar biasa. Selain membuat si penjual es teh mendadak ketiban rejeki nomplok, Gus Miftah akhirnya menyatakan undur diri dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden, Jumat (6/12).

Sebagai seorang warga gereja, awalnya saya hanya melihat keriuhan ini sambil lalu. Tak ada minat untuk membahas apalagi menulis, karena memang bukan ranahnya alias "beda server".

Tapi, kalau dilihat lagi, sebatas pada poin mendiskreditkan profesi, kekayaan seseorang atau semacamnya, fenomena ini sebenarnya juga terjadi di gereja, khususnya gereja aliran kontemporer, yang cenderung berpandangan materialistis, antara lain dengan memandang kekayaan melimpah atau jabatan tinggi secara sebagai satu "tujuan" bukan alat untuk berkarya dan berdampak positif di masyarakat.

Kesamaan yang ada juga semakin mirip, karena sosok pengkhotbah yang hadir, kadang belum tentu seorang pendeta, dan latar belakang pendidikannya kadang juga tidak sesuai. Ditambah lagi, penampilannya cenderung modis, dan ada yang ber "tarif undangan"  mahal, layaknya artis atau motivator papan atas.

Gambaran ini berbanding terbalik dengan pendeta di gereja aliran klasik, yang memang digaji gereja, dan berpenampilan selayaknya pendeta tiap bertugas. Latar belakangnya pun jelas, karena menempuh pendidikan teologi secara formal dan mendalam.

Pada gereja kontemporer, ragam latar belakang seperti itu rawan menciptakan salah fokus, karena titik fokusnya menjadi bergeser ke "sosok dan penampilan", bukan pesan yang ingin disampaikan. Celakanya, salah fokus ini biasa menggerus sisi kritis dan fokus untuk beribadah.

Apalagi, ketika liturgi ibadahnya terlalu menitikberatkan pada sisi "entertaintment" layaknya konser di sebagian besar durasi acara. Hasilnya, fokus saat mendengarkan khotbah menjadi hal yang sangat sulit, karena energi sudah terkuras duluan oleh liturgi ibadah yang terlalu wow.

Uniknya, masalah ini seperti "disadari" oleh pihak gereja maupun pengkhotbah, karena materi khotbah yang disampaikan biasanya cenderung "ringan", kalau bisa lucu, walaupun kadang rawan kelewat batas.

Situasi rawan kelewat batas inilah, yang kadang menyakitkan, khususnya buat mereka, yang secara ekonomi dan posisi "bukan siapa-siapa". Padahal, mereka datang untuk beribadah bukan untuk jadi "sasaran tembak".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun