Dengan kualitas sebagus itu, dan kemampuan yang masih bisa berkembang lebih jauh, tidak salah kalau Hansi Flick mengandalkannya. Pelatih asal Jerman ini juga pernah sukses saat melakukan pendekatan serupa pada Jamal Musiala, saat melatih Bayern Munich di tahun 2020 silam.
Masalahnya, talenta istimewa seperti ini kerap menghadirkan satu ketergantungan di tim. Di Barcelona, ini pernah menciptakan satu paradoks, saat Lionel Messi jadi pemain andalan.
Saat La Pulga fit dan dalam performa terbaik, Los Cules adalah tim yang berbahaya, tapi menjadi tim yang "dalam bahaya" jika sang Argentino sedang tidak fit atau tampil melempem.
Situasi serupa belakangan kembali terlihat, khususnya saat Lamine Yamal absen atau kurang fit. Kekalahan dari Real Sociedad dan hasil imbang dari Celta Vigo menjadi indikasi awal.
Saat Barcelona takluk 1-2 di kandang sendiri, Sabtu (30/11) lalu, Yamal memang bermain di babak kedua. Tapi, kondisi dan performanya tampak belum optimal, karena baru saja sembuh dari cedera engkel.
Meski sebenarnya masih punya Raphina dan Robert Lewandowski yang rajin mencetak gol, keberadaan Yamal terbukti krusial, karena darinyalah "faktor X" khas seorang "fantasista" muncul, dan membuat serangan Barca lebih berwarna.
Sebenarnya, ini adalah satu pertanda baik buat Tim Catalan, karena mereka sudah menemukan talenta hebat berikutnya. Hebatnya, talenta istimewa itu ditemukan juga dari akademi La Masia, seperti Messi dulu.
Tapi, selain berusaha memastikan sang pemain tetap fit, ada satu tantangan lain yang sudah menunggu, yakni bagaimana mengembangkan talentanya, tanpa harus menghadirkan satu ketergantungan.
Jika tidak, situasi sulit akan jadi hal biasa. Setiap kali pemain Timnas Spanyol ini absen atau kurang fit, Barca akan kehilangan sebagian kekuatannya, dan terjebak dalam tren negatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H