Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Suatu Hari Minggu bersama "Women from Rote Island"

25 November 2024   23:30 Diperbarui: 25 November 2024   23:52 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bicara soal nonton film di bioskop, sebenarnya saya bukan orang yang benar-benar menggemari aktivitas satu ini. Secara frekuensi, saya termasuk orang yang belum tentu setahun sekali nonton film di bioskop.

Jika ada satu-dua alasan nonton film langsung di bioskop, itu lebih karena filmnya benar-benar bagus, atau punya sesuatu yang spesial. Maka, ketika ada kesempatan datang, dalam satu kemasan unik, ini tak bisa dilewatkan begitu saja.

Berawal dari info soal event bertajuk Alternativa Film Festival di Yogyakarta, dari Kompasianer senior Ang Tek Khun, saya mencoba untuk ikut menonton langsung ke bioskop. Kebetulan, Pak Khun mewakili KOMiK (Kompasianers Only Movie enthus(i)ast Klub) Kompasiana yang turut menjadi salah satu media partner.

Festival ini berlangsung tanggal 22-27 November di bioskop Empire XXI Urip Sumoharjo, Yogyakarta. Total, tersaji 25 judul film dari sejumlah negara di benua Asia,

Meski saya sendiri adalah seorang Kompasianer, saya tidak bergabung di KOMiK, karena pada dasarnya memang bukan orang yang "doyan" nonton film di bioskop.

Sebenarnya, semasa SMA dan kuliah dulu, frekuensi saya menonton film (di bioskop) sedikit lebih banyak, tapi hanya 3-4 kali setahun. Frekuensi ini jelas sangat "kureng" untuk ukuran komunitas pecinta film pada umumnya.

Jadi, ketika ada info dari Pak Khun soal event Alternativa Film Festival ini, awalnya saya sempat ragu-ragu. Ditambah lagi, meski harganya gratis, tiketnya cepat ludes terjual.

Beruntung, Pak Khun lalu mendorong saya untuk coba mencari tiket secara on the spot. Saya pun langsung memilah, film mana yang pas, dan "Women from Rote Island" menjadi film yang saya pilih.

Kebetulan, film itu tayang pada hari Minggu (24/11) dan saya bisa sekalian jalan-jalan sepulang dari gereja. Bisa dibilang, ini situasi yang klop.

Pada prosesnya, momen menonton film kali ini menjadi unik, karena menjadi pengalaman pertama saya menonton film gratis, dalam sebuah acara festival film internasional di bioskop. Keunikan itu semakin lengkap, karena film berjudul "Women from Rote Island" yang saya tonton ini bukan film sembarangan.

Ternyata, film berdurasi total 106 menit ini adalah film yang sudah mendapat penghargaan di Festival Film Indonesia (FFI) 2023 dan tampil di Busan International Film Festival 2023. Profil film garapan sutradara Jeremias Nyangoen ini makin mentereng, karena menjadi film Indonesia yang masuk nominasi awal Best International Feature Film di Piala Oscar 2025.

Film "Women from Rote Island" sendiri secara lugas mengangkat realita muram di balik keindahan alam dan keunikan budaya di pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, lengkap dengan beragam pesan moral dan aksi yang ingin dikampanyekan. Perpaduan ini menjadi satu ciri umum, pada film-film di Alternativa Film Festival, yang kompak mengangkat isu sosial budaya di berbagai negara, khususnya di benua Asia.

Secara keseluruhan, sesi acara pemutaran film, yang ditutup diskusi bersama para pendukung film ini berlangsung selama hampir 3 jam. Tapi, waktu selama itu terasa cepat berlalu, karena film yang ditayangkan memang berkualitas.

Bagi saya, kualitas film "Women from Rote Island" terlalu "mahal" untuk ukuran sebuah film yang diputar secara gratis di bioskop, apalagi karena film ini sudah masuk festival film internasional.

Penyebabnya, film ini mampu menenun jalinan dinamika situasi kompleks dan sulit dengan begitu rapi, sehingga dapat terlihat sederhana tapi berkelas.

Dalam skala lebih luas, film yang antara lain dibintangi Linda Adoe dan Van Jhoov ini juga menjadi gambaran, tentang jalinan hitam-putih situasi di Indonesia secara umum.

Di balik kekayaan alam dan budaya yang begitu melimpah, ada kerawanan sosial, antara lain karena masih ada sisi konservatif (kalau tak boleh dibilang kolot) budaya yang cenderung ekstrem, tapi menciptakan pihak yang kuat dan lemah.

Inilah satu "masalah di balik berkah" yang masih menjadi satu tantangan tersendiri, untuk dapat dihadapi bersama, demi terwujudnya satu keadilan sosial yang nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun